Kategori
Banyuwangi Berita

Khutbatul Iftitah dan Upacara Kemerdekaan di Ujung Timur Pulau Jawa

Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Banyuwangi hari Jum’at (20/8) kemaren suskses menggelar Upacara Bendera Merayakan HUT ke-76 RI seakaligus Khutbatul Iftitah sebagai simbolis Pembukaan Tahun ajaran baru 2021-2022. Acara dilaksnakaan di halaman pesantren.

Khutbatul Iftitah kali ini dihadiri oleh Dewan Syariah Daarul Qur’an, KH. Ahmad Kosasih. Hadir juga diantaranya Pengasuh Takhassus Banyuwangi beserta santri, Kepala Sekolah TK serta SD Fullday Banyuwangi.

Kyai Kosasih dalam kesempatan ini ditunjuk sebagai inspektur upacara, memipin jalannya upacara dan memberikan amanat kepada semua peserta upacara.

Beliau berpesan, “Al-Qur’an seperti sumber mata air yang tak akan habis serta menyejukan. Jika kita belajar Al-Qur’an maka tidak akan pernah habis ilmu yg kita dapatkan.”

Beliau juga mengutip ayat di surah Az-Zumar dan surah Al-Kahfi, menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai cahaya dan telah Allah mudahkan untuk dipelajari bagi mereka yang mau mempelajari. Karenanya diharap santri untuk selalu menjaga semangat menghafalnya di pesantren agar bisa menyelesaikan hafalannya 30 Juz dengan predikat mutqin.

Kegiatan yang dibersamai oleh gerimis hujan berlangsung lancar dan khidmat. Acara juga diisi dengan penampilan santri dan ditutup dengan pelepasan balon oleh para pimpinan Pesantren Daqu Banyuwangi sebagai simbolis telah dibukanya Tahun Ajaran Baru 2021-2022 serta sesi foto bersama semua santri.

Kategori
Berita Kegiatan

Pesantren Daqu Tangerang Gelar Upacara Kemerdekaan

Angkatan 11 “Revtabefend” tahun ini menjadi tim Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) dalam gelaran sakral Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 76 di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Tangerang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, upacara dilaksankaan di lapangan futsal dan basket, Pesantren Daqu Tangerang, tepat di hari kemerdekaan RI, Selasa, 17 Agustus 2021. Tayangan Upacara ini juga bisa disaksikan Live Streaming Youtube di channel Pesantren Daqu.

Sedikit pembeda yakni masker yang dikenakan tiap anggota Paskibraka karena pelaksanaan upacara masih dalam suasana pandemi. Tak hanya mereka, seluruh peserta dan tamu juga diwajibkan menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan serta menjaga jarak.

KH. Ahmad Jamil selaku Pimpinan Daarul Qur’an Direktorat Pendidikan, bertugas menjadi inspektur upacara dalam perayaan tahun ini. Selain beliau, juga hadir seluruh pimpinan Daarul Qur’an, termasuk Pembina Yayasan Daarul Qur’an, KH Yusuf Mansur.

Ada juga Pimpinan Direktorat Zakat dan Wakaf, Ustadz Anwar Sani; Pimpinan Direktorat Ekonomi, Ustadz Tarmizi Ashidiq; serta Dewan Syari’ah Daarul Qur’an, KH Ahmad Kosasih.

Selain santri SMP dan SMA pesantren Daqu Tangerang, juga hadir adik-adik dari Shigor Putra dan Putri yang rela turut berpanas-panasan di lapangan. Meski begitu, seluruh peserta mengikuti porosesi upacara dengan khidmad dan syahdu.

Dalam amanatnya, Kyai Jamil menerangkan tentang Pembukaan UUD 1945, khususnya dalam aline ke 3, yang berbunyi “atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”

Di situ, kata beliau, kita menyaksikan bagaimana kehati-hatian para proklamator kemerdekaan dalam membuat naskah UUD 1945. Alih-alih mendewakan kesuksesan mengusir penjajah di atas kaki tangan sendiri, mereka menyebut hal tersebut semata berkat Maha Rahim-Nya Allah SWT.

“Kalau kita perhatikan alinea ini kita akan meyadari ini merupakan sebuah kecerdasan spiritual dan kecerdasaan emosional. Di dalamnya ada patriotisme yang diperjuangkan oleh our founding fathers, oleh para pahlawan nasional kita,” ujarnya.

Kyai Jamil juga berpesan agar para generasi penerus bisa melestarikan semangat perjuangan. Bukan hanya secara fisik, namun juga seluruh aspek kesejahteraan.  “Never stop learning cause life never stop changing,” tuturnya.

Prosesi upacara sakral yang telah usai tak lantas meredupkan semarak perayaan HUT ke-76 RI ini. Acara lalu berlalih ke Khutbatul Iftitah. Ini merupakan simbolis pembukaan tahun 2021/2022.

Balon udara pun melayang saat diterbangkan oleh KH Yusuf Mansur sebagai penanda dibukanya tahun ajaran baru tersebut. Beliau juga berkeliling didampingi pimpinan Daarul Qur’an lain, kemudian berfoto bersama para santri serta Tim Paskibraka yang luar biasa.

Keseruan lainnya di acara Khutbatul Iftitah yakni dengan penampilan berbagai ektrakurikuler yang ada di Pesantren Daqu Tangerang. Ajang unjuk gigi sekaligus menarik minat para santri baru.

Ekskul yang tampil antara lain Persida (Persatuan Silat Daarul Qur’an), Persada (Persatuan Senam Akrobatik Daarul Qur’an), DaQu Archery Club, Beksi (Silat Daqu), Marching Band, Takewondo, serta penampilan drama musikal yang menggambarkan situasi Indonesia utamanya di saat merebaknya wabah Covid-19.

Upacara kemerdekaan sekaligus mengingatkan kita bahwa perjuangan masih belum berakhir. Beban tersebut kini direngkuh para gerenrasi muda yag siap menyongsong tantangan-tantangan lainnya.

Selain itu, dengan acara Khutbatul Iftitah juga mengingatkan bahwa kita bisa berkarya dengan bakat-bakat yang dimiliki, untuk mengharumkan nama Indonesia.

Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh! 

Penulis: Muhamad Luthfi Hakim, Santri Pesantren Daqu Tangerang, Kelas 11.

Kategori
Berita Kegiatan

Keluarga Besar Daqu Sedekah Darah

Memanfaatkan momentum Daqu Expo, Komite wali murid SD Daarul Qur’an Ketapang menginisiasi kegiatan donor darah di SD Daarul Qur’an Ketapang, Senin (17/1). Wali murid yang hadir di Daqu Expo bisa mampir ke ruang kelas 1A, tempat donor darah dilakukan. Sumber Daya Insani Daarul Qur’an yang lain juga ikut berpartisipasi.

Donor darah dilakukan 2 jam setelah pembukaan Daqu Expo, yakni pukul 9 pagi. Pimpinan pesantren Tahfiz Daarul Qur’an, Kyai Ahmad Jamil, serta dewan syari’ah Daarul Qur’an, KH Ahmad Kosasih, juga memberikan sumbangan darahnya.

Wakil Kepala Sekolah SD Daarul Qur’an bidang Kesiswaan, Ustadz Zainal Arifin, menjelaskan peserta donor darah mencapai 100 orang. Kebanyakan dari mereka adalah wali murid.

“Kalau kita ngasih darahnya sehat, sedekah darahnya sehat, nanti Allah kasih siklus darah yang sehat juga di dalam tubuh kita”, ujar Kyai Jamil.

Donor darah memang sangat bermanfaat bagi tubuh. Selain membersihkan darah, donor darah juga bisa mencegah penyakit jantung, kanker, kolestrol, dan mempercepat penyembuhan luka.

Kategori
News

Courtesy of Homecoming (“Mudik”)

By KH Ahmad Kosasih, Daarul Quran Sharia Board

 

Question: Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kyai, would you please explainthe necessity ofhomecoming(“mudik”) in accordance with Islam point of view.Thank you. Wassalam.

 

Answer:

In Indonesian’s terminology, “Mudik”, Indonesian’s term for homecoming, is originated from “udik”. Indonesian language dictionary (KBBI) define “mudik” as the river above (near the origin/source) or (area) in river upstream. This leads to the definition as the original and clear source, which could be interpreted as parents, family, or hometown.

In this context, visiting each other (“silaturahim”) is the moment to refine and reconnect a relationship. Rasulullah SAW said that silaturahim connects the broken (HR Bukhari). A good and continue relationship may affect to prolonged life span and prosperity.

Homecoming is also the cure for the tired soul who lives far away from their hometown, especially for the poor. From the book: Slums and Community Development (1966), author Marshall Barron Clinard said that the lower class of the urban group are those who are an outcast in society, experience culture shame, economically oppressed, politically utilized, and suppressed by the rich.

These people found sanctuary in their hometown, which the big cities could not provide. The feeling of inclusivity, where the people know and care for each other. This environment creates serenity, safe and peaceful feelings. Being together with their family and relatives, they feel humanized.

For those who have achieved a successful career, homecoming could be some sort of self validation. It is okay to show your achievements, as long as it does not contain riya’, ujub, tabdzir which could trigger jealousy. To expose our social status is actually not prohibited, because it is a way for us to show our gratitude to Allah for His grace. As for His word “And proclaim the Grace of your God” (QS 93:11). Rasulullah SAW also said that Allah is happy to see His grace is shown by His servant.

With all those meaning to people, it was not surprising that homecoming has become an annual tradition. Even though the trip is always physically, mentally or financially draining, many people would always accept this as a part of their tradition. It is already predicted this year that millions of people will go back to their hometown using various modes of transportation.

According to KBBI, “Udik” is also defined as a village or a countryside, as antonym of town or city, which negatively interpreted as an ill mannered behaviour, out of date, or tacky. An Indonesian famous comedian Tukul Arwana usually said the word “Ndeso” for this phenomenon.

That meaning of “Mudik” reminds us that “Mudik” can also be seen as negative, when we justify every act in order to arrive to our hometown as quickly as possible. Sometimes we may ignore the courtesy of travelling such as mahram, safety, caring, tolerance, etc. While driving, it is not uncommon that we forget to respect other people that also using the road.

In worse situation, some people intentionally put this so called tradition above all of their mandatory obligation—such as salat and fasting—or sunnah obligation—such as tarawih, or reciting Quran. For “Mudik”, some of us will also abandoned the last ten days of Ramadhan, the special period in this holy month, where there is a night called Lailatul Qadr, a night which (decree) is better than a thousand months. Because of his strong will to meet Lailatul Qadr, Rasulullah SAW—a man who already guaranteed the highest level of heaven without his deeds being judged or hisab—put his best effort to worship Allah SWT in last days of Ramadhan.

Aisyah RA, Rasulullah SAW wife said that when entering the last ten days of Ramadhan, Rasulullah SAW tighten his cloth (that he used to pray), keep the distance from his wife, stay awake through the night, and then waking up his family to worship and pray to Allah SWT (HR Bukhari).

People who do homecoming could also harm his hometown. It is mentioned in an international seminar about the outcome of residents mobility to social change (International Migration, June 1989), concluded that the migration from village to city caused clashes of norm and value in the village. Paulo Coelho, one of the writer said that, “Migration has seriously jolted rural traditional values and behavior through the new style introduced by out-migrants.”

Aside from positive outcomes to the development of the village, the people who do homecoming could spread the bad influence—typically negative behavior of big city residents—such as gambling, drinking, stealing, oppressing, and prostitute. The modesty and civilized nature of the villagers slowly decay.

Because of that reason, we should try to take “Mudik” as—mentioned in Javanese terminology—“Mudiko”, which means rise. Homecoming should boost our decree in front of Allah SWT or humans being.

The rise or the decline of human’s decree in front of Allah, depends on his/her obedience. The purpose of Ramadhan is to make enlighted people to become more obedient. Ramadhan is not the period where we pursue the world for the sake of good apprearance in Idul Fitri. Because, as Rasulullah SAW said, that Allah does not look at your physical or your appearance, rather your obedience.

Furthermore, when we give benefits to the environment it is a personal value that bring us to a higher level in society. Because, as Rasulullah SAW said, the better people are the most beneficial to his/her fellow being.

To insan nafi’an, the abundance of income which they gained during Ramadhan and Idul Fitri, he/she would remember to share the fortune to the poor. This is not for purpose of bragging, nor being extravagant. Rasulullah SAW said that, “Be indifferent towards this world, and Allah will love you. Be indifferent to what is in people’s hands, and they will love you.” (HR Ibnu Majah).

Last but not least, courtesy of homecoming—as well as the courtesyof pilgrimageas the complementary action that follows—should be the moment to remember about death. Not less than 16 times Al Qur’an mentioned words: raaji’uun, which meanscoming home to the kingdom Allah SWT, to the eternal afterlife.

If we are willing put so many efforts for Idul Fitri homecoming, does it sounds logic for us to put our best effort as well for the sake of a better life when we return to the herafter?

Kategori
Aqidah Artikel

Adab Mudik

Oleh KH Ahmad Kosasih, Dewan Syariah Daarul Qur’an

 

Tanya: Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kyai, tolong jelaskan perlunya mudik menurut pandangan Islam. Terima kasih. Wassalam.

 Jawab:

Secara lughawi (bahasa), ‘’mudik’’ berasal dari kata “udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia berarti ‘’sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai’’. Konotasinya adalah sumber yang orisinil dan jernih, yang bisa dimaknai sebagai orangtua, keluarga, atau kampung halaman.

Dalam konteks ini, silaturahim adalah ajang untuk menjernihkan dan menyambungkan (clearing) hubungan. Sebagaimana dikatakan Nabi SAW: ‘’Bersilaturahim adalah menyambung yang putus’’ (HR Bukhari). Selanjutnya, kesinambungan hubungan berdampak pada tersambungnya (bertambah) usia dan rejeki.

Mudik juga obat mujarab untuk kelelahan jiwa yang diderita para insan di rantau, terutama kaum marginal. Clinard dalam bukunya Slums and Community Development mengatakan, kaum urban kelas bawah merupakan kelompok masyarakat yang secara sosial dicampakkan, secara budaya dihina, secara ekonomi diperas, secara politik dimanfaatkan, dan oleh masyarakat yang telah mapan mereka ditekan.

Nah, dengan mudik, kaum urban jelata kembali ke habitat asli, yang langka mereka temukan di rantau. Yakni, hidup saling mengenal dan menumbuhkan semangat kebersamaan (in group feeling). Habitat yang menimbulkan perasaan aman, damai, dan tenteram. Di tengah kerabat dan sahabat sekampung, mereka merasa di-wongke kembali.

Bagi yang ‘’sukses’’ di rantau, mudik bisa menjadi semacam ‘’pembuktian diri’’. Tak ada salahnya pemudik menampakkan sukses yang diraihnya di rantau selama ini, asalkan tidak bermuatan riya’, ujub, tabdzir, yang berpotensi memicu social jealous. Sebab, menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah. Sebagaimana firman-Nya: ‘’Adapun nikmat Tuhanmu maka kabarkanlah’’ (QS 93:11). Demikian juga wasiat Rasulullah SAW: ‘’Allah senang melihat nikmat-Nya (ditampakkan) oleh hamba-Nya.’’

Dengan segenap maknanya itu, tak heran bila mudik menjadi ritual massal tahunan. Meskipun perjalanan pulang kampung ini sangat berat secara fisik, kejiwaan, maupun finansial, ia tetap menjadi tradisi. Belasan juta orang tahun ini diperkirakan mudik dengan menggunakan berbagai moda transportasi.

Namun, ‘’udik’’ menurut KBBI juga berarti ‘’desa, dusun, kampung (lawan dari kota)’’, yang berkonotasi negatif seperti tidak tahu tata krama nasional, ketinggalan jaman, norak. ‘’Ndeso,’’ kata Tukul Arwana.

Makna bahasa itu mengingatkan, mudik juga berpotensi buruk. Misalnya, menghalalkan segala cara untuk bisa pulang kampung dan tiba di sana secepatnya. Adab safar seperti kemuhriman, keselamatan, kepedulian, toleransi sesama musafir, dan sebagainya, terabaikan. Saling potong jalan, saling salip, perang klakson, tawur umpatan, acap mewarnai lalulintas mudik yang crowded.

Bahkan sebagian orang mengorbankan the last ten days of Ramadhan demi mudik. Puasa tidak, sholat enggak, tarawih pun bablas. Padahal, sepuluh hari terakhir Bulan Suci sangat istimewa. Terselip di dalamnya, satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatul qodar). Karena itulah Rasullah SAW sekalipun, yang maksum dan dijamin masuk surga paling top tanpa hisab, semakin getol beribadah di hari-hari akhir Ramadhan.

Seperti disampaikan Aisyah ra: “Bila masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan kainnya, menjauhkan diri dari menggauli istrinya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya” (HR  Bukhari).

Kehadiran pemudik juga bisa membawa bencana. Terungkap dalam seminar internasional mengenai dampak mobilitas penduduk terhadap perubahan sosial (International Migration edisi Juni 1989), bahwa migrasi desa-kota menimbulkan benturan-benturan norma dan nilai di daerah pedesaan. Paulo Coelho, salah satu pemakalah, menyatakan, “Migration has seriously jolted rural traditional values and behavior through the new style introduced by out-migrants.”

Selain berdampak positif terhadap pembangunan desa, pelaku mobilitas ada yang membawa dan menyebarkan kebiasaan buruk ‘’orang kota’’ seperti berjudi, mabuk-mabukan, mencuri, memeras, dan prostitusi. Tradisi warga desa yang santun dan beradab pun perlahan luntur jadinya.

Karena itu, ada baiknya juga memaknai mudik dalam khazanah Bahasa Jawa: mudiko, yang berarti ‘’naik’’. Pulang kampung mestinya membuat pemudik ‘’naik’’ di hadapan Allah SWT maupun umat manusia.

Naik-turunnya derajat manusia di hadapan-Nya, tergantung pada ketakwaan. Dan, Ramadhan bertujuan agar orang beriman semakin takwa. Karena itu, bulan puasa bukanlah bulan untuk memburu sebanyak-banyaknya dunia demi membagus-baguskan penampilan saat lebaran. Sebab, kata Nabi Muhammad SAW, ‘’Allah tidak memandang fisik dan penampilanmu, melainkan takwamu.’’

Selanjutnya, kemaslahatan diri bagi lingkungan adalah pesonal value yang membuat seseorang pantas ’’naik kelas’’ secara sosial.  Sebaik-baik manusia, kata Nabi Muhammad SAW, ‘’adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.’’

Bagi insan nafi’an, kelimpahan rejeki lebaran yang dia raih tak lupa disenggolkan keberkahannya bagi kaum dhuafa. Bukan untuk pamer, gagah-gagahan, jor-joran. Rasul SAW berkata, “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah cinta kepadamu. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka mencintaimu” (HR Ibnu Majah).

Last but not least, mudik –sebagaimana adat ziarah kubur yang menjadi komplemennya—hendaknya menjadi wahana untuk mengingat kematian. Tak kurang dari enambelas kali Al Qur’an menyebut kata  raaji’uun,  yang artinya mudik ke haribaan Allah SWT, mudik ke kampung akhirat nan kekal.

Jika mudik lebaran begitu kita bela-belain sampai titik keringat, darah, dan airmata serta isi kantong penghabisan, tidakkah kita mengerahkan segala daya upaya hidup terbaik untuk kembali ke kampung akhirat?

Kategori
Artikel Islami

Makna Riyadhoh

Kata Riyadhoh terambil dari kata Ar-Riyadhu, Ar-Raudhu semakna dengan At-Tamrin yang mengandung arti: latihan atau melatih diri.

Dalam riyadhoh, kita berlatih untuk membiasakan diri melaksanakan ibadah-ibadah mahdhoh (ritual) dan ghairu mahdhoh. Sehingga, kedua macam ibadah itu menjadi budaya hidup kita sehari-hari.
Berikut rincian riyadhoh dalam ibadah mahdhah:

  • Jaga Shalat Tahajjud 8 Rakaat + Witir 3 Rakaat.
  • Jaga Shalat Shubuh, Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. (Khusus soal shalat, terkandung di dalamnya menjaga berjamaah, di masjid, lengkap dengan qabliyah dan ba’diyahnya. Juga Sunnah Tahiyyatul Masjid, sebagai tanda kita datang sebelum waktunya adzan).
  • Jaga baca Surat Al Waaqi’ah sesudah shubuh atau sesudah ashar (boleh pilih).
  • Jaga Shalat Dhuha 6 Rakaat. Yang kuat, 12 rakaat.
  •  Baca zikir usai shalat, plus bacaan Yaa Fattaah Yaa Rozzaaq 11x, plus ayat kursi, plus Surat Al Ikhlas 3x. Ini setiap usai shalat.
  • Khusus usai Shalat Subuh dan Ashar, ditambah 4 ayat terakhir Surah Al Hasyr.
  • Jaga setiap hari membaca 300x Laa hawla walaa quwwata illaa billaah. Boleh 100x. Dan boleh dibagi-bagi di 5 waktu shalat.
  • Jaga setiap hari baca Istighfar 100x.
  • Jaga setiap hari baca Subhaanallaahi wabihamdihi subhaanallaahil ‘adzhim 100x pagi dan 100x sore. (Boleh habis dhuha dan habis ashar/ jelang maghrib).
  • Jaga setiap hari baca Surat Yaasiin (bebas waktunya kapan saja, yang penting 1 hari 1x).
  • Tutup malam dengan shalat sunnah 2 rakaat; baca Al Kafirun di rakaat pertama, Al Ikhlas di rakaat kedua. Setelahnya baca salah satu dari As Sajdah, Al Mulk, atau Ar Rahman.

Salah satu kedahsyatan riyadhoh adalah kehebatan Sholat Dhuha. Hal ini diwasiatkan Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna.”  (HR. Tirmidzi dari Anas ra).

“Di setiap sendi seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu akbar) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha sebanding dengan pahala semua itu ”

Di dalam tubuh manusia ada 360 sendi, yang atasnya masing-masing dia bersedekah, setiap sendi satu sedekah. Para sahabat bertanya : siapa yang sanggup melakukan itu ya rasulullah? Beliau berkata: menghilangkan dahak (kotoran) di masjid, atau membuang sesuatu yang mengganggu di jalan, maka bila tidak sanggup cukup diganti dengan dua raka’at shalat dhuha yang pahalanya serupa dengannya.

Kemudian bentuk riyadhoh yang lain adalah seperti yang dikemukakan Ustadz Yusuf Mansur, yaitu menghindari dari, atau bertaubat atas 10 dosa besar:

  1. Syirik
  2. Meninggalkan Shalat
  3. Durhaka Kepada Orang Tua
  4. Zina
  5. Rizqy Haram
  6. Mabok
  7. Memutus Silaturrahim
  8. Bohong (nuduh zina, saksi palsu, bohong)
  9. Kikir
  10. Ghibah