Kategori
Amalan Artikel

Allah Muliakan Para Penghafal Al-Qur’an

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk rupamu lalu memperbagus rupamu, dan kepada-Nya tempat kembali”.  (At-Tagabun: 3)

Lantunan Surat Al-Fatihah terdengar dari speaker sebuah handphone. Tak terlihat seperti handphone masa kini dengan layar sentuh, tombol-tombolnya menunjukkan handphone tersebut ngetren di awal tahun 2000-an. Tombol-tombol itu sangat berguna bagi Irfan, terutama untuk menghafal Al-Qur’an. Salah satu asatidz Daarul Qur’an tersebut dengan izin Allah memiliki kekurangan dalam penglihatannya.

Awalnya, tak ada yang aneh dalam diri Irfan. Sejak kecil ia hobi bermain sepak bola layaknya anak-anak seusianya. Takdir Allah berkata lain. Menginjak kelas 4 SD ia sakit. Kelihaiannya memainkan si kulit bundar harus tertunda. Lama-kelamaan salah satu matanya tidak berfungsi hingga akhirnya merenggut seluruh penglihatannya.

Namun, Allah SWT adalah Al-‘Adlu, yang Maha Adil. Di balik kekurangan seseorang pasti ada kelebihan yang menonjol. Sejak 2015 ia masuk Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an sebagai seorang santri. 2 tahun waktu yang dibutuhkan Irfan untuk menghafal seluruh isi Al-Qur’an. Kini, sosok asal Sukabumi itu sudah menjadi guru tahfizh.

Sebelum masuk ke Daarul Qur’an ia mengaku belum pernah punya pengalaman dalam menghafalkan Al-Qur’an. Setelah sekian lama akhirnya ia menemukan metode menghafal Al-Qur’an yang pas yang ia gunakan hingga saat ini. Bermodalkan sebuah handphone, ia menghafal Al-Qur’an lewat lantunan murrotal. Murottal dalam handphonenya sudah dibuat per halaman. “Alhamdulillah, pake HP bisa menghasilkan 1 halaman sampe 2 halaman setiap hari”, ujar asatidz berusia 21 tahun itu.

Suara murottal tersebut terkadang terdengar kurang jelas di telinga Irfan. Ia mengaku sering keliru dalam pengucapan huruf Al-Qur’an. “Kadang-kadang Tha dibaca Ta”. Namun, semangatnya menghafal Al-Qur’an menutup segala kesulitan yang ia rasakan. “Alhamdulillah dikasih kemudahan untuk cepet ngafalnya”. Maka benar lah firman Allah SWT bahwa Al-Qur’an itu mudah dipelajari. Tak mengenal usia maupun kondisi sesorang.

Allah SWT juga berjanji menaikkan derajat hambanya yang menghafal Al-Qur’an. “Sebelum menghafal Al-Qur’an saya sering diejek orang tapi setelah saya menghafalkan Al-Qur’an ternyata Allah membalikkan semuanya”, tukas Irfan.

Kategori
Amalan Artikel Berita Tahfidz Pesantren

Kiat Menghafal Alquran

Hari Kamis, 28 November 2019, adalah hari yang spesial untuk tiga orang santri. Setelah satu setengah tahun akhirnya mereka menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz. Mulai menghafal sejak duduk di tingkat ‘Idaad, Muhammad Rizky, Muhammad Arif Fauzi, serta Naufal Faras yang duduk di kelas 11 sangat bersyukur atas apa yang telah mereka capai.

Saung di bawah pohon jamblang Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Ketapang menjadi saksi seremoni Khotmil Qur’an ketiganya. Rizky, Arif, dan Naufal dibimbing oleh Ustadz Dandy dalam satu halaqoh pada proses menghafal Alquran. Mereka adalah generasi pertama yang berhasil meraih pencapaian tersebut dalam halaqoh itu. Disaksikan pula oleh kepala pengasuhan pesantren, Ustadz Syaiful Bahri, mereka membacakan surat Al-Ikhlas 3 kali sebagai tanda telah menghafal seluruh isi Alquran.

Allah SWT menerangkan bahwa menghafal Alquran merupakan hal yang mudah bagi mereka yang bersungguh-sungguh. Itu dibuktikan oleh mereka. Rizky mengatakan bahwa niat adalah hal utama dalam proses menghafal Alquran. Selanjutnya tentukan target hafalan yang ingin dicapai secara spesifik. “Biar cuma satu, dua ayat, atau setengah halaman lah tapi harus ditentukan”, ujarnya. Dengan begitu hafalan Alquran terencana sehingga kita memiliki motivasi dalam menghafalnya.

Niat yang ditanamkan juga harus tulus. “Jangan karena hadiah tapi memang bener-bener karena Allah”, ujar Arif. Hal tersebut juga diamini oleh Naufal. “Harus ada dorongan juga dari orang tua”, tambah Naufal. Selanjutnya tinggal muroja’ah hafalan secara rutin.

Dalam proses menghafal Alquran pasti ada hambatan yang akan menghampiri. Ketiganya sepakat bahwa yang paling sulit pada proses tersebut adalah istiqomah. Namun, yang jauh lebih sulit adalah menjaga hafalan Alquran.

Semoga Allah SWT selalu bersama orang-orang yang senantiasa membaca, menghafal dan menjaga hafalan, serta mengimplementasikan isi Alquran. Aamiin.

Kategori
Amalan Kegiatan KH. Yusuf Mansur Pesantren

No Matter How, No Matter What, Dream Comes True

“Pengen punya gedung? Tinggal pikirin aja, susah amat”.

Senin pagi (25/11), Masjid An-Nabawi Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Ketapang telah dipenuhi oleh santri SMP dan SMA. Asatidz dan Asatidzah turut hadir di sana. Sebabnya, KH Yusuf Mansur hadir untuk menyampaikan ilmu mengenai kekuatan bermimpi bertajuk, “Dream, Pray, Action”.

Mimpi layaknya sebuah pohon yang gagah. Tanpa disiram pun mimpi itu akan bertumbuh. “Disiram dengan do’a, nabung, ngumpulin uang”, ujar Kyai Yusuf Mansur. Jika tidak disiram pohon mimpi itu akan tumbuh lebih lama.

Mimpi itu harus besar dan luas. Semakin jauh kita bermimpi maka pohon yang kita tanam juga semakin besar. “Bedanya hanya di proses pertumbuhannya. Semakin besar maka tumbuhnya juga semakin butuh proses”, jelas Kyai Yusuf Mansur.

“Tapi kadang impian itu kita tebang sendiri. Pohon yang gagah ketika kita ngeluh, putus asa, deng, mati itu pohon”, Kyai Yusuf Mansur menjelaskan. Hebatnya sebuah mimpi adalah ketika ia ditebang, mati, dikubur dalam tanah, ia akan tetap hidup. “Drrrreett, drrrreett, gitu. Masih ada arus listriknya”, terang Kyai Yusuf Mansur. Maka ketika kita menimbulkan kembali mimpi tersebut bukan berawal dari sebuah tangkai lagi melainkan dari pohon yang besar.

You have tested your dream and you will be tested by your dream. Mimpi itu datang ketika kita dihina. “Pas kita bilang ‘liburan semester ini kita ke Kairo yok, sebelum masuk sana kita liat apa dia pantes nerima murid kayak kita’ terus temen kalian jawab ‘pala lu’ nah, itu bener berarti sebuah mimpi”, ujar Kyai Yusuf Mansur diikuti gelak tawa para santri. “Pas kita ingin punya rumah tapi uangnya malah dibawa kabur orang maka itu kita lagi diuji oleh mimpi kita”, lanjut beliau. Hal tersebutlah yang dibutuhkan oleh seorang pemimpi dan pemimpin.

Kita belajar dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam dalam Surat Yusuf ayat 4. Beliau yang diberikan mimpi oleh Allah SWT disujudi bintang, matahari, dan bulan justru malah masuk ke sumur. Namun, melalui sebuah proses akhirnya beliau menjadi seorang Nabi. “Belajar untuk punya impian dan omongan yang besar. Ayah berpesan jangan ampe ga punya impian. Ga disirem aja numbuh, ini kalian lagi nyantri, lagi nanem, lagi nyirem, lagi mupuk, ga mungkin ga gede”, pesan Kyai Yusuf Mansur pada para santri. Yang terpenting adalah jangan sampai menebang pohon impian. No matter how, no matter what, dream comes true.

Kategori
Amalan Artikel kisah alumni Pesantren

Tantangan Menuntut Ilmu di Negeri Beruang Putih

Lulusan Daarul Qur’an kembali menapakkan kakinya di Eropa. Kali ini Rusia menjadi negara tujuan. Aisyah Sholeh, Alumni Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Putri asal Bintaro, Tangerang Selatan, lolos seleksi beasiswa pemerintah Rusia tahun 2019. Meskipun baru 2 minggu tinggal di Rusia, ia bisa merasakan perbedaan yang tampak antara Indonesia dan Rusia.

Aisyah mengungkapkan alasan dirinya memilih Rusia. “Sebenernya awalnya ga ada minat karena godaannya berat, apalagi muslim minoritas”, ujarnya. Setelah mendapatkan referensi yang cukup ia mempertimbangan memilih Rusia karena ada satu kota yang populasi muslimnya cukup banyak, yakni Kota Kazan. Namun, ketika proses wawancara dengan direktur program penerima beasiswa tersebut ia disarankan untuk pindah ke Far Eastern Federal University di Vladivostok. Ia pun lolos seleksi dan berkuliah di jurusan pariwisata.

Perjalanan Aisyah kuliah di Rusia bukanlah perkara yang mudah. Sebelumnya ia sempat kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Fakultas Psikologi, lewat jalur SNMPTN. Namun karena satu dan lain hal akhirnya ia keluar. Ia pun sempat mencoba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi di Turki dan Mesir namun ditolak. Hal tersebut membuatnya menunggu untuk mempersiapkan diri selama 2 tahun.  Pengumuman setelah proses pendaftaran yang dibuka pada November 2018 juga harus ia tunggu hingga 1 tahun karena prosesnya yang panjang. “Beasiswa yang diterima ga full. Biaya hidup sekitar 2 juta sebulan sudah cukup, tergantung gaya hidup juga”, ungkapnya.

Tantangan yang sebenarnya ia rasakan ketika telah menapakkan kaki di Rusia. Yang pertama adalah soal makanan. Ia mengisahkan ketika dirinya masak masakan dengan bahan daging ayam pun tetap merasa ragu karena tidak mengetahui apakah proses pemotongan ayam tersebut sesuai syariat Islam atau tidak. Yang terberat adalah mengenai gaya hidup. Ia sempat merasa kaget ketika mengetahui asrama yang akan ia gunakan dicampur antara perempuan dan laki-laki. “Tapi tergantung niatnya ke sana gimana, kalau mau gaya hidup bebas ya gampang aja”, tuturnya. Namun, ia juga mengapresiasi karena penduduk di sana menghargainya. “Pernah beberapa kali sholat di lorong dan mereka ga ganggu”, ungkapnya.

Menurutnya, restu orang tua adalah modal utama baginya ketika memutuskan kuliah di Rusia. “Karena mau gimanapun hebatnya kita kalo ortu ga ridho ya ga akan bisa pergi juga kitanya”, ujarnya. Selain itu, ia berpesan khususnya untuk para santri Daarul Qur’an untuk senantiasa menjaga hafalan Alquran. “Intinya harus istiqomah menjaganya”.

Kategori
Amalan Artikel Berita KH. Yusuf Mansur Pesantren

Berbagi Keberkahan di Musim Mangga

Musim buah mangga sedang berlangsung. Salah satu donatur PPPA Daarul Qur’an yang juga seorang pengusaha buah, Ridwan Ali, membagikan sebagian rezeki yang ia peroleh dari musim mangga tersebut kepada santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Ketapang. Beliau mengikrimkan 37 peti seberat lebih dari 1 ton ke Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an pada Kamis (7/11). Buah yang telah sampai di pesantren langsung dikupas di dapur dan dibagikan kepada santri saat jam makan tiba. “Semua santri harus makan”, ujarnya dalam sebuah video dokumentasi.

Ridwan Ali merupakan donatur yang telah lama mengikuti kajian Ustadz Yusuf Mansur dan telah merasakan manfaat yang didapat dari sedekah. Sedekah yang beliau lakukan ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, beliau pernah menyedekahkan kendaraan pribadinya untuk pendirian masjid Institut Daarul Qur’an (Idaqu).

Tak hanya itu, kecintaannya kepada sedekah dan Daarul Qur’an juga beliau buktikan dengan menyekolahkan dua orang anaknya di Daarul Qur’an. Ustadz Yusuf Mansur yang mengetahui kabar tersebut turut mendoakan. “Insya Allah berkah usahanya”.

 

Kategori
Artikel

Keutamaan Hari Arafah

Hari Arafah merupakan hari yang istimewa karena pada hari itu Allah SWT membanggakan hamba-Nya yang berkumpul di Arafah kepada para malaikat. Hari Arafah bertepatan dengan tanggal 9 Zulhijah. Semua Jamaah Haji berkumpul untuk menjalankan ibadah Wukuf, yang jika tidak dilakukan maka haji yang dikerjakan menjadi tidak sah. Arafah juga merupakan nama sebuah gunung, tempat dimana Nabi Muhammad Saw berpidato di depan kaumnya untuk yang terakhir kali.

Hari Arafah adalah hari agung, di hari ini seluruh jamaah haji berkumpul di Arafah untuk melakukan puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah. Seluruh jamaah berkumpul untuk menghadirkan penghambaan, melantunkan zikir, dan memanjatkan doa kepada Zat Yang Mahamulia; Allah Subhanahu wa taala.

خَيرُ الدُّعَاءِ دُعاءُ يَومِ عرفةَ ، وأفضل ما قلتُ أنَا والنَّبِيُّونَ من قَبْلي : لا إِله إِلا الله وحده لا شريك له ، لَهُ الملكُ وله الحمدُ ، وهو على كل شيء قديرٌ

“Sebaik-baik doa adalah doa di hari Arafah dan seutama-utama ucapanku dan ucapan para nabi sebelumku adalah; Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa alaa kulli syai’in qodiir.” (HR. Tirmizi)

Diantara keutamaan hari Arafah disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali seperti yang ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal sebagai berikut ini:

1- Hari Arafah adalah hari disempurnakannya agama dan nikmat. Dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ‘Umar bin Al Khottob ra berkata bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,

آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ

‘Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya, dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied)’. ‘Ayat apakah itu?’ tanya Umar. Ia berkata, ‘(Ayat yang artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu’. Umar berkata, ‘Kami telah mengetahui hal itu yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi Saw. Beliau berdiri di Arafah pada hari Jumat’.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017). At Tirmidzi mengeluarkan dari Ibnu Abbas semisal itu. Di dalamnya disebutkan bahwa ayat tersebut turun pada hari Ied yaitu hari Jumat, dan hari Arofah.

2- Hari Arafah adalah hari Ied (perayaan) kaum muslimin. Sebagaimana kata Umar bin Al Khattab dan Ibnu Abbas. Karena Ibnu Abbas berkata, “Surat Al Maidah ayat 3 tadi turun pada dua hari Ied: hari Jumat dan hari Arafah.” Umar juga berkata, “Keduanya (hari Jumat dan hari Arafah) -alhamdulillah- hari raya bagi kami.” Akan tetapi hari Arafah adalah hari Ied bagi orang yang sedang wukuf di Arafah saja. Sedangkan bagi yang tidak wukuf dianjurkan untuk berpuasa menurut jumhur (mayoritas) ulama.

3- Hari Arafah adalah asy syaf’u(penggenap) yang Allah bersumpah dengannya sedangkan hari Idul Adha (hari Nahr) disebut al watr (ganjil). Inilah yang disebutkan dalam ayat,

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

“Dan (demi) yang genap dan yang ganjil” (QS. Al Fajr: 3). Demikian kata Ibnu Rajab Al Hambali. Namun Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir menukil pendapat sebaliknya. Yang dimaksud al watr adalah hari Arafah, sedangkan asy syaf’u adalah hari Nahr (Idul Adha). Demikian pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah dan Adh Dhohak.

4- Hari Arafah adalah hari yang paling utama. Demikian pendapat sebagian ulama. Ada pula yang berpendapat bahwa hari yang paling utama adalah hari Nahr (Idul Adha).

5- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Hari Arafah lebih utama dari 10.000 hari.” Atho’ berkata, “Barangsiapa berpuasa pada hari Arafah, maka ia mendapatkan pahala seperti berpuasa 2000 hari.”

6- Hari Arafah menurut sekelompok

ulama salaf disebut hari haji akbar. Yang berpendapat seperti ini adalah Umar dan ulama lainnya. Sedangkan ulama lain menyelisihi hal itu, mereka mengatakan bahwa hari haji akbar adalah hari Nahr (Idul Adha).

7- Puasa pada hari Arafah akan mengampuni dosa dua tahun. Dari Abu Qotadah, Nabi Saw bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arafah (9 Zulhijah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

8- Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka. Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Diantara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”(HR. Muslim no. 1348)

Allah pun begitu bangga dengan orang yang wukuf di Arafah. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabi Saw bersabda

,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً

“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa)

Demikianlah keutamaan hari Arafah. Semoga Kita semua selalu dalam keberkahan, kemuliaan dan termasuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang dibanggakan dihadapan para malaikat-Nya. Aamiin.[]

 

Oleh: Maryati Tarmizi

 

 

 

* sumber foto google

 

Kategori
Amalan Artikel

Berkah Al Quran Bersama Ustadz H. Abdul Somad

[vc_row][vc_column][vc_video link=”https://www.youtube.com/watch?v=M1Fn6XuoiQY” title=”`{`Full Video`}` Keberkahan Belajar Al Qur’an | Tabligh Akbar Ustadz Abdul Somad”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][vc_column_text]Ketika melihat unggahan sebuah poster acara akhir pekan berupa Tabligh Akbar yang menghadirkan Ustadz H. Abdul Somad dan Ustadz Yusuf Mansur, saya langsung membatalkan sejumlah agenda. Toh, agenda yang saya batalkan hanyalah kegiatan standar khas bapak-bapak pekerja kantoran yang semula hendak menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan.

Kegiatan semacam itu bisa dilakukan kapan saja, tapi kesempatan menghadiri majelis ilmu dan belajar langsung dari para pemuka agama yang memang berilmu tinggi, padat jadwalnya, dan kebetulan berlangsung di kota yang sama, sungguh terlalu sayang untuk dilewatkan. Acara Tabligh Akbar ini bertajuk “Keberkahan Belajar Al Qur’an” yang berlangsung di Masjid Nabawi. Tapi tenang saja, bukan di Masjid Nabawi yang berada di kota Madinah, Arab Saudi, tetapi masjid ini berada di kompleks Pesantren Tahfizh Daarul Quran yang berada di Cipondoh, Tangerang.

Sebagai warga yang mendiami sebuah wilayah di Jabodetabek, melangkahkan kaki ke sana tentu tidak terlalu sulit. Bersyukurlah wilayah ini sudah sebagian besar terkoneksi dengan sarana transportasi umum. Dengan menaiki KRL Commuter Line, saya hanya membutuhkan biaya 10 ribu rupiah untuk membeli tiket pulang-pergi.

Memang, perjalanan Commuter Line ini agak berbeda dengan yang biasa saya jalankan sehari-hari. Jika biasanya saya sudah turun di stasiun Manggarai atau Sudirman menuju gedung bertingkat perkantoran tempat bekerja, kali ini saya menghabiskan sedikit lebih lama lagi berdiam di kereta hingga stasiun transit Duri.

Sebuah pemandangan kontras tersaji dalam jarak tempuh sepuluh menit saja, dari perkantoran mewah sekitar stasiun Sudirman ke pemukiman padat penduduk di sekitar stasiun Duri. Dari stasiun Duri, saya kemudian melanjutkan ke kereta yang mengakhiri perjalanan di stasiun Tangerang. Kawan saya memberitahu untuk turun di stasiun Poris, tiga pemberhentian sebelum Tangerang.

Di perjalanan dari stasiun Duri ke Poris, saya kembali disuguhi pemandangan yang lebih membumi sekaligus kontras. Terdapat hamparan sawah yang ditanami berbagai tanaman pangan yang dihimpit oleh pabrik-pabrik berskala produksi menengah. Saya pun sedikit delusional karena dalam beberapa saat merasa sedang menaiki kereta menuju Jawa Tengah, hingga kemudian interkom kereta menyadarkan saya bahwa saya telah tiba di stasiun Poris. Satu setengah jam perjalanan saya habiskan di dalam kereta saja, setara dengan waktu normal sebuah pertandingan sepak bola.

Mohon maaf jika saya mengawali tulisan ini dengan agak melantur, karena memang inilah pengalaman pertama saya berkunjung ke pondok pesantren yang pendiriannya dirintis oleh Ustadz Yusuf Mansur ini, juga pengalaman pertama menyaksikan tausyiah dari Ustadz Abdul Somad secara langsung. Perjalanan ini kemudian agak-agak saya maknai dengan sedikit spiritual. Rupanya saya sudah terlalu lama berjibaku di dunia kerja dan terlalu jauh dari agama, tapi ini adalah hal lain.

Acara dijadwalkan berlangsung pukul tujuh hingga sembilan pagi. Ustadz H. Abdul Somad menaiki panggung tepat pukul delapan, dan kemudian mengisi acara utama berupa tausyiah. Sebelumnya, KH Yusuf Mansur membuka acara dengan kata sambutan singkatnya.

Ustadz yang juga dikenal dengan sebutan UAS ini memang pada prinsipnya menjalankan peran yang sama seperti layaknya para guru agama yang bertugas untuk berdakwah. Dakwah dan syiar Islam yang berawal dari Rasulullah Muhammad SAW yang mengajarkan ilmunya kepada para sahabat, lalu dilanjutkan oleh para tabi’in, lalu tabi’in dari tabi’in dan seterusnya, yang tersebar dari jazirah Arab, Afrika Utara, Eropa Selatan, Asia Tengah hingga kemudian sampai kepada kita di wilayah Nusantara.

Hanya saja, UAS memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan para da’i lain. Tanpa bermaksud membandingkan, UAS yang pernah belajar Islam di Mesir dan Maroko ini memiliki modal yang amat penting untuk membuat para pendengarnya betah, yaitu kemampuan story telling yang ciamik. UAS juga amat mahir dalam menggunakan berbagai analogi sehingga materi ceramah yang sebetulnya berat menjadi lebih mudah dipahami.

Pengetahuannya jelas mumpuni. Sejarah modern, teknologi terkini, hingga kultur pop pun tidak lepas dari materi pengajarannya. Ia memang perlu mengetahui hal-hal tersebut agar dakwahnya dapat menyentuh berbagai kalangan. Apalagi, UAS juga amat lihai mengeluarkan candaan-candaan segar namun tidak keluar dari konteks sehingga acara ceramah tidak berlangsung kaku. Terkadang, dari hal-hal kecil seperti inilah pintu-pintu hidayah banyak dibukakan.

Kehadiran para pendakwah seperti UAS ini memang menyejukkan. Merekalah para penyeimbang bagi kita yang sudah terlalu lama berjibaku untuk memenuhi urusan dunia. Seperti halnya banyak pendakwah lain di era digital, kemunculan Ustadz H. Abdul Somad ini juga mulai diperhatikan ketika banyak yang mengunggah kegiatan ceramahnya melalui kanal-kanal pembagi video. Dari media-media inilah kita kemudian mengenal sosoknya, juga logat Melayu yang menjadi ciri khasnya.

Ustadz H. Abdul Somad pun dibuat kagum dengan keberadaan lembaga tahfizh quran seperti Daarul Quran. Menurutnya, keberadaan institusi Daarul Quran di tengah masyarakat ini amat penting guna mencetak bibit-bibit penghapal kitab suci umat Islam ini di tengah segala macam tantangan dan fitnah yang mengiringi generasi sekarang.

Mempelajari quran dengan detail, seksama, dibaca dengan benar, dan dihapalkan dengan metode yang tepat, kelak tidak hanya akan mencetak generasi Rabbani, tetapi juga generasi yang tertanam quran sejak di dalam dasar alam pikirannya. Hal lain boleh terlupa dan terganti, namun pembelajaran quran yang didapat dari sebuah program pendidikan yang ekstensif tidak akan pernah hilang. Jangan ditanya manfaatnya, karena pahala yang dihasilkan akan terus mengalir layaknya air yang membasahi kerongkongan di tentah panasnya gurun pasir.

Berbicara kehidupan berbangsa, keberadaan penghapal quran adalah aset berharga bagi sebuah bangsa. Tidak lain, mereka akan membawa segala berkah akan tercurah dan menghadirkan kemakmuran. Dengan prinsip mengejar akhirat, maka bukan hanya kehidupan surga akhirat yang didapat, tetapi juga dunia yang akan bersimpuh di bawah kaki. Hal yang bertolak belakang dengan yang berlaku di masyarakan sekarang, yaitu masyarakat yang terlalu mementingkan dunia dan melupakan akhirat.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Kategori
Aqidah Artikel

Tentang Hijrah dan Segala Tantangannya

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Penulis : Aditya Nugroho

Fenomena ‘hijrah’ belakangan ini marak terjadi, dari mulai teman sendiri, keluarga atau sanak saudara hingga selebriti mengaku ingin mempraktikkan cara hidup yang sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadist. Apa yang mendorong seseorang berhijrah? Memangnya hijrah yang benar itu seperti apa? Lalu seperti apa tantangan ketika memutuskan berhijrah?

Definisi hijrah sendiri cukup banyak terdapat dalam Al Quran. Contohnya di surah Al Mudatsir ayat 5 yang bermakna ‘menyingkiri’, lalu di surah Maryam ayat 46 yang berarti ‘meninggalkan’ dan ‘berpaling’, kemudian di surah Al Muzammil ayat 10 yang mengandung arti ‘menjauhkan diri (dari sesuatu)’.

Selanjutnya, surah An Nisa ayat 34 memberi pengertian hijrah yang berarti ‘memisahkan’. Lalu berikutnya adalah surah Ali Imran ayat 194 yang mengandung makna ‘memutuskan hubungan’.

Dalam sejarah Islam, konteks hijrah sendiri paling cocok digunakan dalam masa awal dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Ketika mendapatkan penolakan pada awal masanya berdakwah pada tahun 622 Masehi di kota Makkah, Rasulullah bersama para pengikutnya memilih untuk melakukan emigrasi, alias berpindah tempat dari kota Makkah ke kota Madinah.

Sebagai gambaran, jarak antara kota Makkah dengan Madinah kurang lebih 450 km, seperti jarak antara Jakarta dan Semarang. Jarak yang cukup jauh untuk menyingkir dari pengaruh buruk kaum penyembah berhala yang waktu itu telah hidup turun-temurun menguasai kota dan selalu menentang dakwah, bahkan ingin membunuh Rasulullah.

Pada zaman sekarang, hijrah tetaplah tidak berubah maknanya. Pada hakikatnya, hijrah adalah mengubah kebiasaan lama yang buruk dan tidak sesuai dengan tuntunan hidup yang diajarkan dalam Al Quran dan Hadist menjadi kebiasaan baru yang sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadist. Karena itu, hijrah menjadi kewajiban bagi seorang muslim/muslimah, bukan pilihan.

Dorongan Berhijrah

Ada beberapa contoh kisah sehari-hari yang melatarbelakangi seseorang berhijrah. Bermunculannya ustadz yang berdakwah memanfaatkan teknologi dan media sosial memang efektif untuk memberikan pengetahuan agama kepada kita-kita yang sibuk bekerja dan sulit untuk mendatangi langsung majelis ilmu. Dengan menggunakan media seperti Youtube, kita bisa mempelajari agama dengan cara yang mengena bagi masing-masing.

Contohnya, ada yang senang mendengarkan pembahasan mengenai akhir zaman atau tanda-tanda kiamat. Siapa sih yang tidak bergidik ngeri dengan pembahasan yang satu itu? Dari rasa takut itulah kemudian muncul keinginan memperdalam ilmu agama agar memiliki kesiapan dan diberi keselamatan dalam huru-hara akhir zaman.

Topik-topik yang kita sukai itulah yang kemudian menjadi gerbang bagi kita untuk mempelajari lebih jauh tentang keindahan agama Islam secara menyeluruh.

Ada pula kisah-kisah inspiratif para mualaf tentang bagaimana mereka mendapatkan hidayah. Hidayah memang ‘mahal’, dan Allah memang tidak memberikannya kepada semua orang, kecuali mereka yang memiliki keinginan untuk ‘menjemputnya’ sendiri. Menyaksikan dan mendengar kisah mereka dalam menemukan kebenaran Islam sudah pasti membuat kita yang sudah Islam dari lahir akan berpikir. Mengapa mereka yang harus mencari sendiri saja bisa memahami Islam dengan lebih baik daripada kita? Hal ini kemudian bisa menjadi pendorong kita untuk berhijrah.

Penulis juga pernah mendengar kisah seorang teman yang berhijrah karena pengalaman hidup yang ia dapat. Ia yang memutuskan berhijrah setelah melihat sahabat karibnya jatuh sakit lalu meninggal dunia. Teman saya itu diceritakan tentang mimpi yang dialami sahabatnya sebelum meninggal, bahwa ia diberitahu tentang dosanya yang sebesar bukit. “Dia yang sebaik itu punya dosa sebesar bukit, gimana gue?” Sejak saat itulah ia memutuskan untuk memperbaiki diri dan mempelajari ilmu agama dengan lebih serius, alias berhijrah.

Setiap orang pada dasarnya diberi kesempatan untuk berhijrah dengan cara yang berbeda-beda. Tergantung bagaimana kita memaknai dan menyikapinya, dan apakah kita memilih untuk mendatangi atau malah mengabaikannya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pada dasarnya kita yang membutuhkan Allah, bukan sebaliknya. Maka ketika kita menyaksikan seseorang berhijrah, tidak usah menanggapinya dengan sinis, justru berikanlah segala bentuk bantuan agar proses hijrahnya optimal dan ia terus istiqomah.

Hijrah Itu Seperti Apa?

Yang paling terlihat jelas dari orang-orang yang mulai berhijrah ini tentu saja dari caranya berpakaian. Wanita yang mulai berhijrah akan memakai pakaian jilbab panjang, atau biasa disebut dengan hijab syar’i. Buat kaum pria, maka memakai celana cingkrang alias celana yang dinaikkan ke atas mata kaki dijalankan agar tidak isbal.

Itu baru dari cara berpakaian. Yang tidak kalah penting adalah hijrah perilaku dan kebiasaan. Ini jelas lebih sulit.

Jelas lebih sulit karena mengubah perilaku dan kebiasaan ini rasanya tidak sesederhana mengubah penampilan. Contoh kongkrit dari mengubah perilaku adalah dari yang semula terbiasa curang ketika berdagang atau bekerja, maka ketika memutuskan untuk hijrah, maka tidak boleh curang lagi, apalagi korupsi. Yang dulunya suka bergunjing atau melakukan ghibah, maka sudah tidak boleh ngegosip lagi. Lalu yang dulunya suka berjudi, meminum minuman keras, pacaran apalagi berzina, maka jika sudah berhijrah, semua itu harus ditinggalkan. Banyak lagi contohnya yang bisa jadi satu buku sendiri kalau dibahas satu persatu. Jalan hijrah memang harus melalui hal-hal sulit dan tidak mengenakkan, sebaliknya jalan kesesatan selalu ditunjukkan melalui berbagai kenikmatan dunia.

Begitu juga tentang kebiasaan. Ini juga tidak gampang. Dalam hal beribadah misalnya, jika tadinya salat kita masih bolong-bolong, maka ketika memutuskan berhijrah, tidak boleh lagi seperti itu. Malah kalau bisa, salat dilakukan pada awal waktu secara berjamaah di masjid (untuk laki-laki). Lebih utama lagi, kerjakan juga salat sunnah dan ibadah-ibadah yang dianjurkan lainnya seperti berpuasa senin dan kamis, dan sebagainya.

Lalu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya yang tadinya suka menghabiskan waktu berjam-jam nonton film drama atau mendengarkan musik, maka kalau sudah berhijrah, harus dikurangi karena akan lebih berfaedah memperdalam ilmu agama atau memperbaiki bacaan Al Quran. Lalu yang sebelumnya suka nongkrong dari pagi hingga sore di mall, maka kalau sudah hijrah, kebiasaan ini diganti dengan mengikuti kelompok pengajian atau majelis ilmu.

Hijrah Secara Fundamental

Selain itu, seseorang yang berhijrah dan memutuskan untuk total dalam memperdalam agama demi menjadi muslim/muslimah yang baik juga harus memiliki mental yang kuat. Harus istiqamah dan tidak boleh mudah menyerah.

Yang tadi disebutkan baru perilaku dan kebiasaan secara fisik, alias yang secara kasat mata bisa dilihat orang. Tapi yang lebih fundamental alias mendasar dari sebuah hijrah adalah hijrah sejak dalam pikiran.

Apa tuh maksudnya? Jika sudah memutuskan hijrah, kita harus berprasangka baik kepada Allah (khusnudzan) atas segala hal yang terjadi pada diri kita. Tidak boleh lagi mengeluh, apalagi menyalahkan Allah dan memvonis Allah tidak adil dan sebagainya. Terlebih jika segala keluhan itu di-posting di akun media sosial.

Hijrah ini pula berarti bersikap ikhlas, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, dan karena itu kita harus memiliki mentalitas untuk selalu berserah diri, atau bertawakal.

Lalu kemudian, kalau sudah hijrah, kita harus berupaya menghilangkan segala penyakit hati. Jadi yang namanya iri, dengkihasadriya dan sebagainya itu tidak boleh lagi menjadi peliharaan kita. Membuat hijrah jadi kurang bermakna.

Biarkan sajalah orang lain dengan segala keberhasilan yang mereka pertontonkan, toh itu semua bukan urusan kita. Lagipula, masing-masing orang telah melalui perjuangannya sendiri untuk bisa menggapai hidup yang mereka rasakan sekarang.

Sebaliknya, jika kita sebagai pihak yang merasakan berkah yang memungkinkan kita mendapatkan segala nikmat dunia, maka sebagai muslim/muslimah yang telah berhijrah, kita harus bisa menahan diri untuk tidak mempertontonkan glorifikasi atau memamerkan keberhasilan itu untuk membuat orang lain terjangkit penyakit hati.

We buy things we don’t need, with the money we don’t have, to impress people we don’t like.

Jangan sampai barisan kata satir yang muncul di film Fight Club (1999) ini menjadi gambaran hidup kita sehari-hari.

Tantangan Ketika Berhijrah

Ketika melakukan hal-hal baik, ada saja tantangan yang dihadapi, baik itu dari diri sendiri sampai gunjingan dari orang lain.

Ada saja bisikan-bisikan yang datang dari diri sendiri yang meragukan kemampuan diri untuk berhijrah. “Percuma deh, nanti udah pakai hijab, malah lepas lagi karena gak kuat. Kan malu-maluin.” Padahal, lebih baik memulai dulu dari pada tidak dimulai sama sekali. Sekali lagi, hijrah adalah kewajiban, bukan pilihan.

Ini baru dari diri sendiri, yang juga tidak gampang dihadapi adalah reaksi dari orang-orang di sekitar. Dari ledekan hingga cibiran, dari yang sinis hingga yang ragu, itulah yang akan kita hadapi. Bersiap-siaplah untuk dibilang “Ah sekarang elu gak asik lagi!” atau “Sekarang kok jadi sok serius? Sok suci pula.” Bahkan ada pula keraguan dari orang lain “Yah, paling-paling besok udah balik lagi ke tongkrongan.”

Langkah selanjutnya ketika pikiran kita sudah berhijrah, adalah menegakkannya dalam keseharian, alias mendakwahkannya sesuai kapasitas dan kemampuan. Kalau dalam budaya populer, maka kata-kata yang diucapkan penulis asal Irlandia yang hidup di abad ke-18 Edmund Burke berikut ini bisa dijadikan contoh:

The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” Pernah menonton film Tears of The Sun yang dibintangi Bruce Willis dan Monica Bellucci? Quote tersebut berasal dari film ini. Esensi dari film yang berlatar konflik bersenjata di Afrika Barat ini adalah ajakan untuk menegakkan kebenaran agar penguasa jahat tidak lagi berkuasa.

Islam sudah mengajarkan bahasa yang lebih sederhana dan sudah sering kita dengar yaitu Amar Ma’ruf, Nahi Munkar. Ajaran dari para Nabi yang tentunya lebih dulu lahir daripada Sir Edmund Burke.

Masalahnya dalam konteks bermasyarakat kita pada zaman now, individualisme dan kebebasan amat diagungkan. Jadi ketika kita menasihati saudara kita yang kerap melakukan hal tidak baik, maka balasan yang kita dapat dari orang yang kita nasihati itu adalah:

“Yang dosa gue, kok elu yang repot?!”

“Duit duit gue, kok elu yang ikut campur?!”

“Elu gak ngasih gue makan, kenapa gue harus dengerin nasihat lu?!”

“Sok suci banget sih lu, macam udah pasti masuk surga aja pakai nasihatin orang.”

“Siapa sih lu? Kok ngurusin hidup orang. Emangnya hidup lu sendiri udah bener?”

Familiar? Ya, begitulah tantangannya. Sabar. Doakan saja. Toh sebelum kita berhijrah, kita juga pernah mengalami fase seperti itu, bukan? Doakan saja, karena mereka sebetulnya tidak tahu. Atau mungkin sudah tahu, tapi belum tahu bagaimana cara memulai.

 

* sumber foto google[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Kategori
Amalan Artikel

Tadarus

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Oleh : Ustadz Hendy Irawan Saleh

 

Tadarus (membaca) Al Qur’an adalah salah satu amalan sunah utama di Bulan Ramadhan. Terlebih, pada Bulan Suci inilah Al Qur’an mulai diturunkan, sebagaimana firman Allah SWT: “… Bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia dan menjadi keterangan yang menjelaskan, petunjuk dan pembeda antara yang benar dengan yang salah” (Al Baqarah: 185).

Menurut riwayat, Malaikat Jibril senantiasa tadarus Qur’an bersama Nabi Muhammad SAW setiap hari sepanjang Ramadhan. Sedang Utsman bin Affan, menantu Nabi SAW yang dijuluki Dzun Nurain,  khatam Qur’an setiap hari pada Bulan Suci.

Pendek kata, seperti dikatakan Imam Zuhri, “Sesungguhnya Ramadhan adalah Bulan Membaca Qur’an dan menyediakan takjil untuk orang berpuasa.”

Pembaca, semua sudah tahu what is the meaning of Al Qur’an. Mengutip Muhammad Ali Al Hasan dalam kitabnya Al Manar fi Ulum Al Qur`an, Al Qur`an: huwa kalamullah al-mu’jiz al-munazzal ‘ala al-nabiyyi al-manqul tawaturan wa al-muta’abbadu bihi tilawah.

Qur`an adalah Kalamullah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukil secara tawatur dan membacanya tergolong ibadah. Dan pahalanya, Subhanallah, ajib banget dah.

Al Qur’an terdiri 30 Juz, dan 6.236 ayat. Bahkan jika lafal basmalah di awal surat yang jumlahnya 112 dihitung, maka jumlah seluruh ayat menjadi 6.348 ayat.

Nah, jangankan membaca satu mushaf atau satu juz atau satu ayat, membaca satu huruf pun ada nilai ibadahnya berlipat sepuluh. Sebagaimana kabar gembira dari Rasulullah SAW:

Siapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka ia akan mendapat pahala satu kebaikan, satu kebaikan sama dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan ‘Alif Laam Miim‘ adalah satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf(HR Tirmidzi).

Padahal, jumlah huruf dalam satu mushaf Qur’an, lebih dari sejuta. Al-Imam Asafi’i dalam kitab Majmu al Ulum wa Mathli ’u an Nujum dan dikutip oleh Imam Ibn ‘Arabi dalam Mukaddimah al-Futuhuat al Ilahiyah  menyatakan jumlah huruf dalam Al Qur ’an adalah 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu). Ini sudah termasuk jumlah huruf ayat yang di-nasakh.

Abdullah bin Amru bin Ash pernah bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, berapa lama aku sebaiknya membaca Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih lebih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku” (HR Tirmidzi).

Menjelaskan hadits tersebut, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “(Maksud) adanya larangan membaca Al-Qur’an (menghatamkannya) kurang dari tiga hari yaitu jika dirutinkan tiap hari. Namun, jika di kesempatan yang utama seperti Bulan Ramadhan dan tempat yang mulia seperti di Makkah bagi penduduk luar Makkah, dianjurkan memperbanyak tilawah Al-Qur’an di sana, untuk menghargai kemuliaan tempat dan waktu tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam lainnya. Hal ini didukung dengan amalan selain mereka.”

Utsman bin Affan ra, pada bulan Ramadlan menghatamkan Al-Qur’an sehari sekali. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun yang menghatamkan Al-Qur’an dalam satu raka’at, maka tidak dapat dihitung karena banyaknya. Di antara ulama terdahulu: Utsman bin ‘Affan, Tamim al-Daari, Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘Anhu, beliau menghatamkan dalam satu raka’at di dalam Ka’bah.”

Imam al-Syafi’i rahimahullah, pada bulan Ramadhan menghatamkan Al-Qur’an sampai 60 kali dan itu di luar shalat. Sebagaimana disebutkan oleh muridnya Ar-Rabi’ bin Sulaiman: “Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36).

Imam al-Dzahabi berkata, “Telah diriwayatkan dari banyak jalur bahwa Abu Bakar bin ‘Ayyasy tinggal selama empat puluh tahun menghatamkan Al-Qur’an sekali dalam sehari semalam.”

Seorang ulama yang bernama Al-Aswad bin Yazid (Tabi’in yang meninggal dunia 74 atau 75 Hijriyah di Kufah), bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam. Dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata, “Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51).

Ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan setiap malamnya” (Siyar A’lam An-Nubala’, 5: 276).

Pun Ibnu ‘Asakir, ulama hadits dari negeri Syam, dengan nama kunyah Abul Qasim. Penulis kitab terkenal Tarikh Dimasyq ini, menurut kesaksian anaknya yang bernama Al-Qasim, biasa merutinkan shalat jama’ah dan tilawah Al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya. Lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau khatamkan Al-Qur’an setiap hari” (Siyar A’lam An-Nubala’ 20: 562).[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Kategori
Amalan Artikel

Tajamu

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Oleh : Ustadz Hendy Irawan Saleh

 

Di sela ekspedisi dakwah ke Sikakap, Kab Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu, kami sempat makan siang bersama. Beralaskan daun pisang, dengan nasi berlauk ikan bakar, sambal kecap, sayur kangkung, dan kerupuk, kami belasan aktivis makan sangat lahap. Maklum, lapar, sehabis melaksanakan sunatan massal dan berbagi bingkisan di Desa Tubeket dengan menumpang boat kayu.

Dalam khazanah tradisi Minang, makan bersama semacam itu disebut bajamba. Orang Sunda mengatakan botram. Orang Betawi bilang padangan.

Sedangkan alumni Pondok Gontor punya istilah sendiri untuk soal itu, yakni tajamu.

Tajamu adalah makan bersama ala santri gontor yang kemudian menjadi tradisi hingga jadi guru dan alumni.  Secara disiplin makan bareng diatas nampan,  plastik atau daun pisang itu melanggar disiplin.  Tapi menjadi menarik karena ada spirit kebersamaan.  Prihatin saat jadi santri.  Rekoso saat jadi mahasiswa tajamu’ bahagia saat sukses jadi apalah mereka. Tradisi nraktir atau bersedekah makan ini berakar dari tuntunan agama Islam. Dalam Al Quran, Allah SWT menyebut keutamaan memberi makan orang miskin dan kurang mampu yang membutuhkan, dan reward bagi pelakunya:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Nsan: 8-12)

Tak heran jika para ulama salaf sangat memperhatikan memberi makan dan mendahulukannya atas banyak macam ibadah, baik dengan mengeyangkan orang lapar atau memberi makan saudara muslim yang shalih. Baik kepada kaum dhuafa maupun tidak.

Sesuai wasiat Rasullullah SAW, “Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah malam di saat manusia tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat” (HR Ahmad, Tirmidzi).

Ada beberapa ulama yang memberi makan orang lain padahal mereka sedang berpuasa, seperti Abdullan bin Umar, Dawud al-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal ra.

Abu al-Saur al-Adawi menuturkan perilaku beberapa orang dari Bani Adi. Tidaklah salah seorang mereka makan satu makananpun dengan sendirian. Jika ia dapatkan orang yang makan bersamanya maka ia makan, dan jika tidak, maka ia keluarkan makanannya ke masjid dan ia memakannya bersama orang-orang.

Ibnu Umar ra tidaklah berbuka puasa kecuali dengan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Ada sahabat yang bertanya: “Wahai Rasulullah, tidak semua orang mampu menyediakan buka orang yang berpuasa?”

Rasul  menjelaskan, “Pahala ini Allah berikan bagi siapa saja yang menyediakan makanan bagi orang yang berbuka puasa meskipun berupa susu bercampur air, kurma, atau seteguk air.’’

Ali bin Husain adalah satu diantara penerus Nabi Muhammad SAW yang getol berbagi secara diam-diam, utamanya di bulan Ramadhan. Kebajikannya baru diketahui warga Madinah setelah beliau meninggal.

Dari kesaksian Abu Hamzah Ats-Tsumali, ”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan.’’

Sedangkan ‘Amr bin Tsabit meriwayatkan, ”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya, ‘Apa ini?’ Ada yang menjawab, ‘Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah.”

Bersaksi pula Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku berkata kepadaku, ‘Saya mendengar penduduk Madinah berkata, Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain’’ (Sifatus Sofwah II/96, Aina Nahnu hal 9).

Semoga kita dapat meneladani para pendahulu kita, sehingga kelak kita dipantaskan untuk satu surga bersama mereka.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]