Kategori
Artikel

Orientasi Tahfizh Al Quran

[vc_row][vc_column][vc_column_text]oleh : Mahfud Fauzi

 

Sejak 10 tahun terakhir ini fenomena gerakan tahfizh menjamur hingga pelosok. Tidak hanya di pesantren tapi juga merembes didin pekantoran melalui majelis taklim, masjid,  sekolah bahkan apa yang dikatakan rumah tahfizh saat ini ikut meramaikan arus peradaban tahfizh di bumi Indonesia.

Fenomena Wisuda akbar yang digelar oleh PPPA Daarul Quran, ODOJ,  Musa, dan maraknya imam muda dengan suara khas mereka, misalnya, menambah semarak dunia tahfizh Indonesia. Sejumlah metode menghafal Al-Qur’an pun hadir dengan sejumlah inovasi kreatifnya.

Prokontra tentang model pendidikan menghafal pasti ada, sebut saja Westwood(1) yang menyatakan bahwa pembelajaran hafalan mendorong siswa berkomitmen terhadap informasi ingatan yang tidak dimengerti dan tidak memiliki nilai fungsional, dimana informasi yang tersimpan tidak mudah diambil dan juga mudah dilupakan. Untuk mengatasi masalah itu, kemudian diprioritaskan lebih penting untuk menerapkan ajaran Alquran dalam konteks kehidupan nyata. Untuk mencapainya, itu perlu agar Tafsir ditambahkan ke kurikulum, agar artinya mudah dipahami.

Berbeda dengan Westwood, Eickelman dalam artikel jurnal Helen N. Boyle mengungkapkan bahwa proses penghafalan al quran adalah menjadi bagian kedisiplinan dan sebuah proses latihan logika dan akal sehingga banyak proses pembelajaran mental yang terlibat.(2)

Perdebatan di atas coba ditengahi oleh Daniel A. Wagner yang menunjukkan bahwa hampir beberapa abad yang lalu penghafalan Al Qur’an itu sebagai langkah awal untuk belajar, tidak serta merta menghalangi pemahaman di kemudian hari. Pembelajaran menghafal harus kredibel diajarkan kepada seorang anak laki-laki di masa kecil yang paling awal, sehingga ia dapat menahannya sepenuhnya dalam ingatan. Setelah itu, maknanya akan terus berangsur-angsur membeberkan makna kepadanya, poin demi poin, saat ia tumbuh lebih tua. Jadi, yang pertama adalah melakukan penyimpanan ke memori; kemudian terjadi pemahaman; kemudian terjadi keyakinan, kepastian dan penerimaan.(3) Terlepas dari polemik diatas, seperti dikutip oleh Sebastian Gunther yang menyitir pendapat Al-Ghazali, baginya, pengetahuan sejati bukanlah sekadar akumulasi fakta yang diingat melainkan ‘cahaya yang membanjiri hati.(4)

Sebuah penelitian menunjukkan orientasi tahfizh Al Quran mengarah kepada 3 dimensi yakni antara kajian, ritual dan pembelajaran:

Pertam,  kajian, pengkaji Al-Qur’an yang memposisikan Al-Qur’an sebagai teks yang mulia namun sekaligus memungkinkan dikaji secara kritis, untuk keperluan menggali kandungan maknanya. Kelompok ini mendudukkan aktifitas perekaman wahyu dalam hati dan pikiran sebagai proses untuk mencapai pemahaman ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kelompok ini mengkaji Al-Qur’an secara kritis, dan dalam batas-batas tertentu melakukan kritik. Mereka terus menggali dan mencari metodologi terbaru dalam memahami Al-Qur’an, termasuk melibatkan teori-teori modern (sastra, bahasa, filsafat, sosiologi, dan lain-lain).

Kedua, ritual, pengkaji Al-Qur’an yang memandang predikat hafizh sebagai prestasi tertinggi. Kelompok ini memposisikan hafal Al-Qur’an sebagai tujuan, tidak lagi proses. Bagi kelompok ini, hafal Al-Qur’an adalah orientasi, target. Tidak ada target lagi setelah menghafal, karena tujuan akhir mereka adalah menghafal Al-Qur’an. Oleh karena itu, wacana yang berkembang di tengah-tengah mereka adalah bagaimana teknik menghafal Al-Qur’an dengan cepat, memiliki hafalan yang kuat, dan lain sebagainya. Tidak terfikirkan oleh mereka, bagaimana metodologi pemahaman Al-Qur’an dalam rangka memecahkan persoalan kontemporer, dan lain sebagainya.

Ketiga, pembelajaran, pengkaji Al-Qur’an yang mendudukkan Al-Qur’an sebagai firman Allah, yang dengan membacanya akan menjadi bentuk ibadah (al-muta’abbad bitilawatihi). Kelompok ini tidak mengkaji Al-Qur’an secara kritis tetapi juga tidak menjadikan ‘hafal Al-Qur’an’ sebagai orientasi. Motivasi utama mereka menghafal Al-Qur’an adalah sebagai bentuk ibadah. Meskipun demikian berdasarkan penuturan para penghafal Al-Qur’an dalam kategori ini yang berhasil oleh peneliti temui, mereka rata-rata menuturkan memiliki pengalaman spiritual. Misalnya, ada sugesti positif akibat dari aktifitas menghafal Al-Qur’an. Mereka merasa mudah dalam menyerap disiplin ilmu lainnya. Pendeknya, dengan menghafal Al-Qur’an mereka merasa ‘tercerahkan’.

Indonesia, sebagai negara yang mendapat limpahan mayoritas muslim terbesar dunia merasa diuntungkan ketika mendapatkan semacam bonus demografi dimana umat muslim sedang mendapat anugerah Qur’an in everyday life untuk mencintai kitab suci melalui menghafal. Harus bangga, namun jangan lantas berpuas diri, karena pergerakan semakin cepat dan dipastikan akan ada banyak pergeseran. Mungkinkah sebuah pegiat, pelaku atau aktifis tahfizh bergerak menuju 3 metode di atas? Wallahu a’lam

 

 

1 Westwood, P. Learning and Learning Difficulties: A Handbook for Teachers. ACER Press.
Australian Council for Educational Research Ltd: Victoria. (2004).
2 Helen N. Boyle. Memorization and Learning in Islamic Schools….. pp. 489
3 See Wagner, “Rediscovering Rote in Helen N. Boyle. Memorization and Learning in Islamic
Schools….pp. 488
4 Gu¨nther, “Be Masters in That You Teach and Continue to Learn in Helen N. Boyle. Memorization and
Learning in Islamic Schools….pp. 488
5 Lihat Ali Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an di Masyarakat Muslim Indonesia, Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 4, No. 1, (2015): hal. 16

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Kategori
Artikel

Sebuah Tanggapan Atas Tulisan Menyoal Penghafal Masuk PTN Tanpa Tes

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Oleh : Mahfud Fauzi

Pengurus Himpunan Da’I Daarul Qur’an (HIPDAQU)

 

Menarik mengamati perkembangan perkembangan tahfizhul quran sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia. Menjamurnya budaya menghafal quran baik secara komunitas ataupun secara pribadi, bahkan masuk kurikulum ke sekolah-sekolah dan terakhir ke perkantoran melalui majelis taklim. Sebagai negara demokrasi, Indonesia, yang memiliki jumlah komunitas muslim terbesar dunia, yang menurut Azyumardi Azra mendapatkan “bonus demografi” maka maraknya “tradisi menghafal” ini bagian dari buah bonus demografi tersebut.

Sementara KH. Ahsin Sakho memberi komentar hangat terkait maraknya para penghafal quran, menurutnya kini umat islam dapat menghafal dengan berbagai model, sehingga kata-kata “hafizh” yang dulu terlalu melangit akhirnya kini membumi, menyentuh kalangan alit, siapapun bisa menghafal.

Banyaknya para penghafal quran yang berasal dari generasi muda pun menarik sejumlah perguruan tinggi untuk menyiapkan program beasiswa bagi para penghafal al-quran. Kampus-kampus seperti Universitas Negeri Solo, Universitas Brawijaya dan lainnya menyediakan karpet merah bagi para penghafal quran untuk menempuh studi di kampusnya. Namun jalur khusus bagi penghafal quran di sejumlah perguruan tinggi ini bukannya tanpa polemik. Usulan seorang dosen Universitas Gajah Mada untuk menyediakan beasiswa bagi penghafal al-quran menimbulkan pro dan kontra.

Dalam artikel berjudul “Menyoal Penghafal Masuk PTN Tanpa Tes” yang dimuat portal detik.com pada senin (6/11), Hasanudin Abdurakhman menulis “…Ini adalah sikap berbasis mumpung dst……” penulis tidak begitu memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam benak pikir Kang Hasan, sapaan akrab Hasanudin Abdurakhman, sehingga dia sampai pada pemahaman seperti “membenturkan antar agama” yang membawa ranah para penghafal yang masuk tanpa tes ke wilayah agama lain. Kalau mau sederhana, persoalan keadilan itu bukanlah semata-mata penyamarataan, sikap menyamakan secara rata-rata semua agama. namun lebih kepada sebuah sikap proporsional yang sesuai dengan budaya, hukum yang berlaku serta kebiasaan sebuah ajaran masing-masing budaya. Sehingga, Kang Hasan sepertinya “memaksakan agama lain” untuk menghafal kitab sucinya, tentu tidak masalah jika memang di agama selain Islam ada budaya menghafal kitab suci, sebut saja penghafal kitab suci Nasrani, penghafal kitab suci Weda dll. Jika memang ada maka semestinya seluruh perguruan tinggi, secara otomatis akan memberlakukan hal yang sama yakni bebas tes bagi penghafal kitab suci selain Al Quran untuk masuk ke PTN. Yang dimaksud adil secara proporsional adalah memperlakukan umat sesuai dengan budayanya, budaya di Islam ada para penghafal quran maka disiapkan beberapa penghargaan bagi para penghafal quran, jikapun di agama lain ada maka hal ini tetap harus diakomodasi. Jangan kemudian “dibenturkan” seolah-olah mengalami kecemburuan bagi agama lain, tentu ini sangat berlebihan dan penuh teka-teki.

Dengan demikian, pembenturan dengan agama lain tak akan berpengaruh sama sekali, sebagaimana aksi bela islam dari pertama dan kedua yang murni menyorot isu penistaan al quran, walaupun di coba dengan menggunakan teori “benturan” ras dan agama tetap saja tidak pengaruh buktinya damai-damai saja antara Islam dan agama lain.

Bicara aji ”mumpung” yang diulas oleh Kang Hasan rasanya berlebihan karena sebagaimana teorinya Lord Acton yang mengatakan bahwa ” power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pastilah korup” , jadi ini persoalan manusia, siapapun dia apapun dia semakin berkuasa maka semakin bisa terjadi teka-teki kepentingan. Pertanyaannya, kenapa dia alamatkan secara khusus kepada pengambil kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan penghafal quran? Sebagaimana diketahui, saat ini beberapa perguruan tinggi yang sudah terbuka menerima mahasiswa penghafal quran tanpa tes seperti UNS, UTY, UNISULA, UNIBRAW dll.

Terlepas dari persoalan di atas, penulis lebih sepakat jika mau mengkritisi terkait euforia kebijakan “kue” khusus buat penghafal quran mestinya sudah saatnya sebuah lembaga pendidikan menyaring bagi penghafal quran yang bisa memahami, menerjemahkan yang pada akhirnya melahirkan mufassir quran yang handal dan relevan dengan perkembangan zaman, ini sifatnya kritik konstruktif, bukan kritik sebagaimana kang hasan yakni kritik destruktif, bersifat menjatuhkan. Dari euforia para penghafal quran tersebut paling tidak akan lebih memajukan gairah intelektualitas secara perorangan, lembaga dan negara tentunya.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Kategori
Aqidah Artikel

Idul Qurban Semangat Memanusiakan Manusi dan Menuhankan Tuhan Oleh : Mahfud Fauzi Staf Biro Dakwah dan Media Daarul Quran

Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban sudah tinggal menghitung hari. Idul Adha ditandai dengan berbondong-bondongnya ummat Islam untuk menunaikan ibadah qurban dengan memotong hewan sembelihan seperti kambing dan sapi bagi yang mampu sesuai ketentuan syariat. Peristiwa itu kemudian diabadikan di dalam Al Quran melalui firman Allah;  “Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’”. (QS. Ash-Shaffat [37]: 102. Makna dialog Nabi Ibrahim AS sebagai ayah dari Nabi Ismail AS menunjukkan semangat patuh, taat terhadap perintah Allah apapun resikonya. Pada wilayah “totalitas taat” inilah akal tidak menjangkau hal-hal yang melingkupi cakupannya. Asas ketaatannya Nabi Ibrahim kepada Allah untuk menyembelih putra tercintanya, asas kepatuhan Nabi Ismail untuk siap di sembelih Ayahnya dalam bingkai atas nama perintah Allah pun siap ditunaikan.

 

Fenomena diatas kita tarik dalam kehidupan kekinian dalam kontek berbangsa dan bernegara. Masih maraknya fenomena yang mengatasnamakan perintah Allah namun disisi lain menimbulkan banyak mudhorot. Mengkafirkan golongan lain, menghalalkan darah golongan lain atas nama perintah Allah. Sesungguhnya, taat kepada Allah adalah melalui jalan Menuhankan Tuhan dan Memanusiakan Manusia, sebuah jalan terjal mengetuk pintu langit. Lalu bagaimana maksudnya?

 

Menuhankan Tuhan

Semangat bertauhid bahwa hanya kepada Allah kita menyembah atau ibadah, hanya kepada Allah jualah memohon pertolongan, atau dengan kata lain tindak tanduk kita mulai bangun tidur hingga mau tidur lagi diniatkan hanya untuk mencari ridlo Allah, betapa tidak? Jika kita hanya meniatkan untuk si A, si B, ya jika tercapai, namun jika tidak tercapai, maka kecewalah kita. Adapun kemudian ada orang yang baik kepada kita itu hanya Rahman Rahimnya Allah menggerakkan orang tersebut kepada kita bukan kemudian atas jasanyalah kita bisa sukses dan lain sebagainya. Tidaklah berlebihan jika kita mengelu-elukan figuritas, ketokohan bahkan mengkultuskannya? Idiologi yang dianggap besar sekalipun Marxisme pada akhirnya rapuh dan keropos juga. Begitupun dengan ideologi-ideologi buatan manusia lainnya jika memandangnya berlebihan maka kita terjebak kepada Menuhankan Manusia.

 

Memanusiakan Manusia

Eforia humanisme mutaakhir yang berlebihan juga pada gilirannya berakibat fatal. Dalam “kacamata Allah” niat awal Nabi Ibrahim untuk taat menyembelih putra kesayangannya kemudian atas izin Allah di ganti domba sehingga yang disembelih domba, bukan manusia, disinilah Allah memperlakukan Nabi Ibrahim untuk ”di wongke” Memanusiakan Manusia, walaupun Allah memerintahkan pahit namun Allah ganti dengan yang lebih manusiawi, lebih bermartabat dan bermanfaat untuk kelangsungan ummat hingga kini, dari situ Allah sungguh tidak menghendaki kekerasan. Bagaimanapun hebatnya Nabi Ibrahim dengan segala mukjizatnya, tetaplah bahwa Ia sang Nabi pembawa risalah kepada ummat bukan lantas sebagai Tuhan, menuhankan manusia, demikian Nabi Isa, hanya sebagai Nabi utusan Allah. Hingga akhir ini, banyak yang memahami agama hanya kulitnya saja namun disisi lain berakibat memfigurkan manusia secara berlebihan bahkan “ucapannya” dianggap sebagai firman Tuhan.

 

Totalitas Taat

Menuhankan Tuhan dan Memanusiakan Manusia adalah dua hubungan yang harmonis antara Rabb dengan manusia agar kemudian tidak terjebak kepada sebaliknya yakni menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan. Semangat berqurban adalah semangat mendekatkan diri kepada Allah melalui totalitas ketaatan kita terhadap perintah-Nya. Totalitas ketaatan sungguh akan membuahkan hasil yang maksimal disisi Allah sebagaimana Allah berfirman “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia (Allah)  akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (At-Thalaq: 2-3). Dan bahkan didalam “taat” nya kepada Allah terdapat nilai-nilai sabar, sementara Allah mempertegas melalui Q.S az  Zumar 10 “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah  yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas. Yang dalam pengertian umum bahwa sungguh orang bersabar itu poinnya unlimited di sisi Allah, sehingga beruntunglah bagi orang-orang yang bersabar di bawah naungan taat kepada Allah, menahan dan menunda untuk bersenang-senang, dari situ jalan terjal mengetuk pintu langit segera terbuka dan tak terbatas. Sementara taqorrub ilallah atau mendekatkan diri kepada Allah itu butuh pengorbanan, dan pengorbanan itu harus dan atas nama Allah semata, apapun pengorbanan itu. Selamat berqurban semoga Allah subhanahu wata’ala meridhoi dan menyampaikan qurban kita sampai kelak kita di akhirat amin.

Kategori
Artikel

Diakui Dunia

Lanjutan Tren Pesantren…

Mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan pondok pesantren merupakan model pendidikan masa depan. Pendidikan model pesantren yang tumbuh pesat di Indonesia sudah menjadi tren di Inggris dan Australia. “Akademisi dari Inggris mengakui model pendidikan pesantren dapat membangun karakter anak, sehingga model itu di Australia dan Inggris telah menjadi tren pendidikan setempat,” katanya  dalam satu kesempatan. 
 Di dua negara itu, pesantren disebut dengan istilah boarding school. “Di Indonesia disebut sistem madrasah atau pondok pesantren,” ucapnya lagi. 
 Nasaruddin mengungkapkan, pendidikan pondok pesantren dapat membangun kepribadian anak sesuai dengan pola pendidikan yang diharapkan Indonesia. 
 Sementara itu Mundjidah Wahab yang juga Wakil Bupati Jombang Jawa Timur menegaskan kemunculan sejumlah lembaga pendidikan formal yang menerapkan proses belajar mengajar secara penuh atau full day school, sebenarnya meniru model pesantren. 
 Pesantren menjadi jawaban atas kian mengkhawatirkannya lingkungan sekitar yang semakin tidak mendukung. Apalagi tingkat kenakalan remaja yang demikian mencemaskan para orang tua.  Wahab menegaskan hadirnya sekolah yang menerapkan konsep seharian penuh di sekolah adalah belajar dari model di pesantren. 
 “Justru di pesantren, perkembangan dan karakter para santri dapat terpantau dengan baik,” katanya. “Bahkan sejumlah perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama kepada para mahasiswa baru,”  
 Sejumlah alumni pesantren yang mampu mandiri dan berhasil menjadi tokoh di lingkungannya adalah bukti bahwa tempaan di pesantren demikian membuahkan hasil yang membanggakan. 
 Demikian juga lahirnya para organisatoris, politisi dan birokrat yang memiilki komitmen kepada perkembangan agama juga sebagai hasil yang tidak bisa dibantah. 
 “Inilah kontribusi pesantren yang telah mewarnai perjalanan bangsa,” tandasnya. 
 Dengan jadwal pesantren yang demikian padat sejak pagi hingga malam, maka para santri telah dibiasakan untuk memenuhi sendiri kebutuhan dasar selama mondok. “Ini juga yang membuat para santri terlihat lebih matang saat berkiprah di masyarakat,” 
 Inilah yang kemudian dikatakan sebagai penanaman investasi jangka panjang sebagaimana yang disebut Nurcholish Madjid. Menurutnya, Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Umumnya, hasilnya baru terlihat dalam 20 tahun atau satu generasi. Oleh karena itu, diperlukan ketabahan untuk menunda berbagai harapan kesenangan, dan untuk secara bersama-sama memikul beban penundaan itu. Khususnya dalam semangat “lebih baik sekarang mandi keringat saat pendidikan daripada mandi darah saat perjuangan.”  
Pada saat yang bersamaan, Ustadz Yusuf Mansur melalui Daarul Qur’an berkomitman membangun 100 pesantren diseluruh penjuru Nusantara, dan di 5 benua. Kini, sudah terbangun Pesantren Tahfidz Daarul Quran Tangerang, Semarang, Lampung, Jambi dan Banyuwangi. 
“Insya Allah 1 Januari 2019, pukul 00:01, serentak dibangun 100 pesantren di 100 kota. Inilah 2019… It’s all about a hundred itu,” tuturnya. Tidak tanggung-tanggung, untuk mendaftar menjadi santri Pesantren Tahfidz sudah bisa sejak dini, jika mau daftar kelas 1 SMP, maka sejak kelas 3 SD sudah bisa mendaftar, program ini kemudian disebut Santri Indent. 
Pada akhir obrolan, sang kawan kemudian menggarisbawahi bahwa sesungguhnya pesantren bahkan telah ikut membantu penanaman karakter versi Kemendiknas yang berjumlah 18 karakter nilai, bahkan lebih ekstrim lagi sebelum kemendiknas mencetuskan hal ini sudah ada di pesantren” ucapnya sambil menghabiskan segelas lemon tea sambil bersiap tancap gas untuk bercocok tanam. 

 

Kategori
Artikel

Tren Pesantren

Oleh : Mahfud Fauzi

Tren Pesantren. Ini bukan ejaan khas Madura yang acapkali diulang-ulang, seperti Taman Nak Kanak, aslinya taman kanak kanak, Pak Bapak yang maksudnya Bapak. Tapi Tren Pesantren yang dimaksud bukan sebagaimana yang dimaksud seperti diatas. Tren Pesantren adalah sebuah dinamika masyakat kekinian yang aktual dan melek perkembangan pendidikan serta selalu dan serba bicara tentang pesantren.

“Sekarang model pendidikan berbau pesantren menjalar dan menjamur di masyarakat, coba simak aja ada istilah full day, istilah boarding school semuanya mengelaborasi atau copas model pesantren” canda kawan memulai pembicaraan sambil menyeruput teh hangat di pagi weekend.

Beberapa tahun lalu kita masih mengenal dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi yang hadir dari sejarah kolonialisme yang ingin memecah belah kualitas pendidikan agama dan pendidikan umum. Kini, dikotomi tersebut semakin memudar meski masih ada yang berpikiran seperti itu.

Beragam orientasi orang tua memasukkan anaknya ke pesantren. Ada yang murni mencari ilmu, ada yang sengaja biar anaknya tidak nakal, ada juga yang broken home lalu “dibuang” ke pesantren. Padahal pesantren bukanlah tempat ajaib yang akan mengubah anak menjadi baik ketika memasukinya. Sama seperti institusi pendidikan lainnya. Untuk berubah ada proses pembelajaran yang harus dilewati.

Di pesantren anak akan bertemu ribuan karakter anak anak se-nusantara. Tidak hanya akan ketemu dengan anak baik-baik tapi siap-siap akan ketemu anak yang memang tidak baik-baik. Ini yang harus disadari sehingga pesantren tudak dijadikan kambing hitam bahkan bumerang bagi keberlangsungan perkembangan pendidikan anak tersebut. Pada detik inilah ditegaskan bahwa pesantren itu bagian “masyarakat kecil” yang siap mematangkan anak sebelum waktunya.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hari ini pesantren menjadi kiblat model pendidikan nusantara. Setelah berakhirnya dikotomi pendidikan, pesantren dengan ragam aktifitas yang memadukan ruhani dan jasmani ditambah masuknya kurikulum nasional dan nilai-nilai kearifan lokal menjadi institusi pendidikan yang utuh.

Full day maupun boarding bahkan yang terakhir tahfidz semua diadopsi serta dielaborasi dari pesantren. ini menunjukkan bahwa pesantren telah memberikan kontribusi ide segar berupa pemikiran ditengah-tengah pendidikan di nusantara yang berada dipersimpangan jalan. Pesantren, sebagai gerbong lokomotif pendidikan kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan perubahan-perubahan, bahkan menjadi “trendsetter” bukan “follower”.

bersambung…….Diakui Dunia

Kategori
Artikel

Kisah Kasih Ibu Sebuah Curahan Anak Pesantren

Oleh : Mahfud Fauzi

“Assalamualaikum, apa kabar?Sehat ya Nak? Bunda kemaren sudah transfer uang untuk bulan ini, Nak. Gimana kabar belajarnya, Nak?”Demikian petikan suara sang bunda ketika menghubungi putranya yang sedang mondok.

“Baik Bunda, Bunda sendiri gimana kabarnya? Ayah dimana sekarang, Bunda? Aku mau ngobrol kangen dengan Ayah, Bunda dan Adek,“ jawab sang anak.

“Ini Ayah, Nak. Gimana, Nak, apa kamu nggak kangen sama kami di rumah?” Canda ayah menggoda sang anak.

“He he he he, aku ndak kangen yang di rumah. Karena aku sudah bawa foto Ayah, Bunda dan Adek, diselipkan di lemariku di pondok. He he he,”sang anak menjawab.

“Waduh kok baru cerita toh, Nak?” Sang ayah kaget dengan mata berkaca-kaca….

Sang Ibu, dipagi hari, ibu bersiap bekerja mencari sesuap nasi. Disiang bolong, sang ibu mengipas-ngipas teriknya matahari. Kemudian, seiring berakhirnya waktu ashar, adalah waktu ia untuk kembali. Begitu sang ibu melewati hari-hari.

Hingga tibalah di tengah bulan, sang ibu bersiap berhitung untuk memenuhi kebutuhan. Bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tapi juga kebutuhan sang anak yang sedang pergi nyantri. Entah uang tersebut cukup atau tidak, entah uang tersebut ada atau tidak. Bahkan mungkin terpaksa meminjam sana-sini untuk memenuhi kebutuhan sang anak yang tengah “mendekam di penjara suci”; Menghitung kebutuhan merupakan sebuah pergulatan penuh balutan kasih sang ibu untuk si buah hati. Peras keringat banting tulang. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, seolah tak ada letihnya.

Bagi sebagian anak yang tinggal di pesantren, maka akan terbentang jarak antara dirinya dengan sang ibu. Jangankan merasakan masakan pagi dan segelas teh manis. Komunikasi jarang apalagi tatap muka.  Namun, yang ada adalah ikatan batin yang kuat yang terbangun lewat doa sang ibu dengan putra tercintanya di pesantren

Tak ada rasa lelah dan letih. Tak ada rasa bersalah untuk menunaikan kewajibannya sebagai sang ibu berdoa pada siang dan malam. Siang malam tergopoh-gopoh mencari uang untuk kiriman bulan berikutnya sang anak. Demikian sang anak  lima kali sehari mendoakan lewat shalat lima waktu, belum lagi doa di shalat duha dan tahajjud. Rangkaian doa antara keduanya itu koneksi yang bisa saja terkabul dalam waktu yang pendek, bisa juga terkabul dalam jangka waktu yang panjang kelak saat masa depannya tiba.

Jadi, hubungan Ibu dengan anak yang mondok di pesantren  tidak lain dan tidak bukan hanya mengandalkan koneksi batin doa saja.

“Ooo… ooo…  bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku” demikian penggalan nyanyian Bunda.

Maka melalui tulisan ini, banyak spektrum doa diantara keduanya meledak pada saat kelak sang anak menghadapi masa depannya. Tak pelak, banyak tokoh bangsa, pemimpin bangsa lahir dan dibesarkan dari pesantren.

Itu semua, rangkaian koneksi doa yang deras meledak tak terbatas untuk sang anak dari Ibunya. Sang ibu seolah sudah “Tahu” bahwa doa bisa mengubah segalanya menembus batas, bahkan melampaui jangkauan pikiran manusia. Sebagaimana hadis Nabi bahwa doa bisa mengubah takdir.

[arabic-font]قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ
(الترمذي) إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ[/arabic-font]

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)

Hebat sekali ibu ini, perempuan yang saat kecil ia membuka pintu buat sang ayah, saat dewasa ia menyempurnakan agama suaminya, dan saat jadi Ibu akhirnya Surga ada di kakinya

[arabic-font]اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ[/arabic-font]

Melalui hari Ibu ini, mari kita doakan ibu kita masing-masing semoga Ibu kita sehat kuat berkat dunia akhirat, Al Fatihah.

Kategori
Artikel

Ustadz Yusuf Mansur dan Kiprahnya

Ustadz Yusuf Mansur, begitu kebanyakan orang menyapa, telah menabuh genderang gerakan menghafal al-Qur’an sejak kisaran 2006. Lewat One Day One Ayat (ODOA)-nya, tak lama kemudian ia ditetapkan oleh Republika sebagai sosok tokoh perubahan pada 2009.

Tak bisa dipungkiri, melalui gerakannya, jutaan ummat menghampirinya. Untuk apa? untuk membantu menuntun perjalanan hidup yang arif. Secara kasat mata, apakah muatan gerakannya hanya sebatas pencitraan ditengah-tengah belenggu kehidupannya? Rasanya tidak.

Hingga saat ini ia terus belajar untuk menghafal, bahkan anak-anaknya juga menghafal, selain menyeru jalan sedekah sebagai solusi kemelut hidup yang menimpa. Menjadi aktor sedekah, menurutnya, bagian yang harus diprioritaskan.

Gerakannya kemudian melembaga. Daarul Quran adalah cikal bakal sebuah nama yang akan melahirkan sekian bobot program baik sosial, dakwah dan bahkan bisnis.

Al Quran adalah pionir utama. Oleh karenanya, tak mengherankan jika Daarul Quran kemudian memiliki banyak program turunan yang berhubungan dengan al Quran. Tak hanya mewajibkan untuk menghafal bagi para santrinya, namun juga para karyawannya.

Selain itu, lembaga ini juga memberikan sumbangsih kepada masyarakat dengan mengadakan pagelaran wisuda akbar. Dimana, dalam kegiatan ini, masyarakat diajak untuk berpartisipasi menghafal al Quran, meski hanya surat-surat tertentu. Wisuda akbar sendiri telah digelar rutin tiap tahun sejak 2011 hingga 2015. Sementara beberapa surat yang dihafalkan bersama adalah Arrahman, Al Mulk, Yasin, Tabarok, Muhammad, Qof, Shof, Albaqarah 1-100, dan Annaba’.

Bahkan, kegiatan menghafal al Quran ini mendapatkan sambutan positif dari salah seorang rekan saya.

“Kalau saya komitmen tiap tahun istiqomah ikut wisuda akbar Daarul Quran, bisa saja di tahun 2030 saya jadi hafidz ya, khatam dan hafal 30 juz al Quran. Masya Allah, sebuah sejarah baru bagi saya dalam hafalan kali ya,” ujar kawan sambil menyeruput teh hangatnya di pagi sebelum beranjak kerja.

Rasanya, Tanah Pertiwi ini terasa indah jika kemudian dimana-mana ada yang mengaji dan menghafal. Bahkan, al Quran bisa menjadi “pakubumi sosial” ditengah konflik sosial baik horisontal maupun vertikal. Siapapun yang sedang  memegang bahkan membaca apalagi menghafal Quran pasti akan ada yang membimbing jalan hidupnya.

Dimana-mana ada tawuran, bukan lagi antarpelajar, antarmasyakarat tapi antaranggota dewan (DPR), lalu gempa bumi, tsunami, dan musibah-musibah lainnya. Allah tidak melenyapkan bumi pertiwi ini, Allah tidak membumihanguskan bumi ini gara gara melihat perilaku bejat kehidupan sosial. Karena Allah masih melihat ada yang mengaji, ada yang membawa Quran, serta ada yang sedang menyibukkan diri menghafal Quran. Disitulah Allah menjaga bumi pertiwi ini, al Quran menjadi “pakubumi sosial” yang kuat di Indonesia.

Namun sementara, pada medio Mei 2015, Ustadz penulis buku “Mencari Tuhan yang Hilang” ini kembali digoyang isu tak sedap yang digulirkan oleh salah satu pengusaha, bahkan akan diadukan ke jalur hukum. Selang satu bulan, yakni pada akhir Juni 2015, ustadz mendapat panggilan. Apakah panggilan hukum? Lalu siapa yang memanggil? Kapolda? Kapolri? Kejaksaan? Namun yang memanggil adalah langsung Raja Saudi Arabia, Raja Salman dan para Imam Masjidil Haram Makkah Mukarramah.

Apa hubungannya dengan isu tak sedap diatas tadi? Tak ada hubungannya. Namun inilah hadiah sang ustadz atas pengelolaan lembaga tahfidz yang ia rintis menjadi lembaga terbaik tingkat dunia. Penghargaan ini langsung diberikan oleh raja dan para imam kepada ustadz Yusuf Mansur. Ketabahan, kegigihan serta keuletan dan ketegaran, serta sabar dalam menghadapi masalah, berbuah manis.

Sebagaimana prinsipnya “susah itu mudah”, dibalik kesusahan pasti akan ada jalan banyak kemudahan. Demikian dinukil dari bukunya Susah itu Mudah .

“Seperti sudah ada yang menskenario saja ya, berlaku motivasi QS Al Insyiroh 5-6 untuk Ustadz, betapa saat itu menghadapinya sebuah masalah, namun berbuah manis,” bisik kawan saya dengan mata berkaca-kaca.

Kedatangan ke Arab tak menggunakan banyak pernak pernik seperti jubah gamis dan udeng-udeng lainnya. Ia hanya menggunakan batik dan peci songkok nasional warna hitam. Ini merepresentasikan jiwa nasionalismenya atas Indonesia yang ia cintainya.

Tidak berhenti sampai disitu, penulis buku Kun Fayakun for Bisnis ini, pada Jumat (11/12/2015) lalu menerima penghargaan API (Apresiasi Pendidikan Islam) 2015 di Jakarta. Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, yang didampingi antara lain Sekjen Kementerian Agama Nur Syam, Dirjen Pendidikan Islam Kamarudin Amin, para pejabat eselon II baik pusat maupun daerah, dan juga sebagai tokoh perbukuan Indonesia.

Kini, hari ini, tepat 19 Desember 2015, merupakan hari lahir sang ustadz dari rahim sang ibunda tercinta. Sebuah kisah 39 tahun silam yang lalu, Sang Ibu seolah sudah “mengintip” lauhul mahfudz nya sang ustadz. Tak pelak, acapkali sejak kecil diramu dengan hasanah ilmu, dirawat, dengan lantunan sholawat, digendong dengan asik kisah dongeng. Karena kelak akan memberi sejuta manfaat untuk ummat.

Keindonesiaannya, kebangsaannya, serta keummatannya melekat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam jiwanya. Selamat ulang tahun ustadz Yusuf Mansur, Ustadz saya, Ustadz Anda, Ustadz Kita dan Ustadz Ummat semua.

Kategori
Artikel

Pilkada, Jalan Terjal Mencari Pemimpin Ideal

Oleh: Mahfud Fauzi

Kamis, 9 Desember 2015, Pemerintah Republik Indonesia menggelar hajat demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah di seluruh penjuru Tanah Air. Tak tanggung-tanggung melalui Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2015 menyatakan bahwa tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional, beruntunglah bagi daerah yang yang tidak kedapatan pilkada karena menikmati libur.

Pertanyaan kemudian muncul adalah masihkah masyarakat antusias berpartisipasi dengan perhelatan demokrasi ini yang konon mengeluarkan dana tidak sedikit? mengingat sudah beberapa kali pilkada langsung digelar namun keinginan mencari pemimpin yang peduli pada masyarakat masih sekedar mimpi.

Tidak jarang beberapa pagelaran Pilkada dibeberapa daerah mencatat rendahnya partisipasi pemilu. Dima berdasar survei yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena masyarakat sudah kehilangan harapan pada calon-calon kepala daerah. Dalam benak masyarakat, calon-calon tersebut kebanyakan lebih mementingkan diri sendiri dan aspek kredibilitasnya pun cenderung rendah.

Politik uang masih menjadi isu utama dalam setiap pilkada. Banyak calon yang demi ambisi meraih jabatan rela menggelontokan banyak rupiah kepada yang bersedia memilihnya. Kondisi ini disambut dengan realita banyak masyarakat yang hanya memiliki pengetahuan bahwa pesta demokrasi lebih dekat “siapa” dan “berapa”, artinya semakin mengguyurkan dana sokongan buat pemilih maka sang calon semakin berpeluang menang.

Akhirnya masyarakat tak kalah cerdas, hajatan demokrasi menurutnya adalah momentum empuk untuk mencambuk para calon kepala daerah sehingga muncul istilah NP-WP (nomor piro – wani piro). Calonpun demikian tak kalah cerdas, kesana kemari menyiapkan amunisi sebesar-besarnya untuk membanjiri isi dompet pemilih.

Maka, hukum akan berlaku jika kelak menang “modal” tetap akan kembali bahkan meraup keuntungan dengan sekian proyek yang siap di mark up. Pada saat seperti ini, KPK sebagai lokomotif pemberantasan korupsi tak kalah cerdas “menyiapkan” daftar nama-nama yang siap diseret di “Jumat Keramat”.

Jika kondisinya seperti ini maka dalil keagamaan, kesantunan adat, serta kearifan lokal tak ada yang berlaku karena yang berlaku adalah “Kehidupan Normatif, jika mau sukses harus hidup sesuai norma dan tip. Norma saja tidak cukup tanpa mengeluarkan tips, apalagi kalau tambah “i” jadi tipis. Demikian ini pasal satu yang sangat sakti pada hajatan tersebut. Semua harus kembali ke pasal satu. Sungguh senjata apalagi yang harus dikeluarkan dalam rangka menyadarkan fenomena sebagaimana diatas.

Banyaknya calon pemimpin “dadakan” yang tidak memiliki jejak rekam yang segar di mata publik menjadikan sang calon harus adu kuat “amunisi” dan cenderung menghalalkan segala cara. Hari ini, belum ada panutan tokoh politik sentral yang dapat disegani, dikagumi akar rumput. Ada sebagian namun bersifat pencitraan dan tak lama mendapat panggilan “Jumat Keramat”.

Proses kepemimpinan yang lahir dari rahim masyarakat kemudian mengejawantah secara kontinyu. Tutur katanya, perilaku dan sikapnya serta janjinya menjadi satu kesatuan yang komit dalam mewujudkan arah dan cita-cita kehidupan di masyarakat.

 

[arabic-font]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

[/arabic-font]

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS. Al-Ahzaab: 21]

Sejatinya, etika adalah mahkota dari seluruh bidang dalam kehidupan ini.
mahkota dari seluruh bidang dalam kehidupan ini.

 

[arabic-font]

اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأ ُتَمِّمَا مَكَارِمَ اْلأَحْلاَ قِ

[/arabic-font]

(Innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaq)

Artinya : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur”
HR. Ibnu Majah dari Ibnu Amru

Orang pandai tapi tak berakhlak, orang kaya tapi tak berakhlaq, orang miskin tapi tak berakhlaq, orang berkuasa tapi tak berakhlak, kesemuanya akan menunggu kehancurannya.

Alquran kemudian menegaskan kembali :

 

[arabic-font]

{ 4 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ} [القلم

[/arabic-font]

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS Al Qalam:4)

Peradaban etika dibangun secara berkala oleh Nabi Agung Muhammad. Resiko kesusahan, kelaparan dan penderitaan pun tak sedikit menghampirinya, tapi pada akhirnya peradaban berdiri kokoh diatas mahkota etika dan akhlak.

Memilih adalah pilihan pemilih yang tak tersembelih dengan pembeli. Selamat memilih.

Mahfud Fauzi
Mahfud Fauzi
Kategori
Artikel

Pesantren itu Pilihan Bukan Alternatif

Oleh : Mahfud Fauzi

“Mah, anak kita mau kita sekolahin di sekolah umum apa sekalian kepesantren ya?” tanya seorang suami kepada istrinya. Bla, bla, bla, akhirnya mereka memutuskan untuk menyekolahkan buah hati di lembaga pendidikan formal umum.
Maka, mulailah pasangan muda itu hunting sekolah terbaik di kota mereka. Selain dari rekomendasi orang, browsing internet, mereka juga mendatangi langsung sejumlah sekolah yang katanya top. Namun setelah melihat sendiri, mereka merasa ada kekurangan yang prinsipil di sekolah-sekolah itu. Ya, setiap sekolah pasti punya plus-minus. Tapi ada minus yang rata dijumpai di sekolah-sekolah umum.
Akhirnya, sang ayah melakukan tindakan revolusioner. Dia bikin sendiri sekolah yang ideal sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu sekolah yang menggabungkan metode pendidikan pesantren dan umum. Ayah itu adalah Ustadz Yusuf Mansur, tatkala hendak menyekolahkan putrinya, Wirda.
Baik sekolah umum maupun pendidikan pesantren kedua duanya ada plus minusnya, tetapi penelitian kepribadian banyak mengapresiasi pendidikan pesantren sebagai pilihan solusi dalam membentuk anak yang mandiri dan berjiwa sosial. Terlebih sistem pesantren yang sarat dengan nilai spiritual jauh berdampak pada masa depan anak kita.
Sebagai orang tua tentu kita menginginkan generasi setelah kita kuat dan mandiri. Kuat iman dan islamnya mandiri berkehidupannya maka khawatirlah kita jika pendidikan anak justru menghasilkan generasi yang lemah

 

[arabic-font]

(وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا) [النساء : 9]

[/arabic-font]
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Sebagai lembaga pendidikan yang tertua di belahan nusantara, pesantren terus berkembang pesat dari masa ke masa. Dikatakan lembaga tertua, bahkan bisa saja kita katakan lembaga pendidikan pertama di nusantara sebelum penjajahan merubah tatanan budaya dari negeri ini. Itu sangat beralasan sebagaimana dikutip dari Azyumardi Azra (2010) bahwa model Surau zaman dulu itu represantasi dari pesantren. Fungsi Surau diperluas menjadi tempat pengajaran dan pengembangan ajaran Islam seperti menjadi tempat shalat, tempat belajar al-Qur’an, tempat upacara-upacara terkait agama, tempat suluk.
Pesantren dalam sejarah peradaban masyarakat kita ternyata sudah lahir sebelum Indonesia merdeka. Bararti kemerdekaan berfikir pesantren lebih maju beberapa dekade sebelum kemerdekaan dikumandangkan. Begitulah kiranya hasil dari tempaan sistem yang komprehensif dimana santrin selama 24 jam tanggung jawab psikologinya, ruhnya, kecerdasannya, terkondisikan dalam aktifitas rutin pesantren.Sehingga pendidikan pesantren banyak melahirkan pemimpin di negeri ini.
Sejenak kita menyaksikan berapa jam sehari semalam anak kita bertemu dan belajar dengan guru? Diluar pesantren mungkin paling banter ketemu dan belajar sejak jam 07.00 s/d jam 15.00 total 8 (delapan) jam dan diluar itu akan bertemu dengan pergaulan lingkungan baik dirumah maupun dimana saja. Sementara di pesantren kurang lebih 24 jam bertemu dan belajar bersama guru. Coba bayangkan mana yang bisa mempercepat membentuk karakter pendidikan pada sang anak?

Sebagaimana kita ketahui bersama, sepanjang perjalannya, adakah tawuran antar pesantren, tawuran antar santri? Percepatan pembentukan karakter pada santri melekat karena 24 jam lebih digembleng, menghadap barat ketemu ustadz harus taat, menghadap kiri ketemu pengasuh harus tidak kisruh, menghadap utara ketemu santri bagian keamanan harus nyaman, menghadap selatan ketemu walikamar harus gemar. Dan menghadap timur ketemu Kyai harus Bisa saja disitulah kemudian terbentuk karakter pendidikan, maka kita posisikan bahwa pesantren itu kini
menjadi pilihan, bukan alternatif.
Pada akhirnya, mau tidak mau kita katakan bahwa orsinilitas pendidikan itu ya pesantren. Pasca masuknya penjajahan maka lahirlah dikotomi pendidikan, ada pendidikan umum dan ada pendidikan agama. Rasanya terlalu gaduh jika kita mengatakan bahwa pesantren adalah segalanya. Yang tidak baik itu jika kita mencemooh dan mejelekkan lembaga diluar pesantren, ini baru kegaduhan, begitu dirasa kira-kira bunyinya.
Nah ayah bunda, abi ummi dan ibu bapak sekalian, dibulan yang diramaikan dengan banyaknya iklan masuk sekolah, murah, mahal atau diskon, maka isi dari pendidikan itu panting..jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena salah mengambil keputusan pendidikan anak kita.
Mendidik anak kunci utamanya adalah orang tua sebab guru adalah sarana, pilihan kita harus pas karena terkait nasib pendidikan anak 3 atau 6 tahun kedepan (Sudah kaya pilkada ya).
Keputusan kita lah yang akan mempengaruhi hasil pendidikan itu. Ingat pesan Nabi SAW:

 

[arabic-font]

قال النبي صلى الله عليه و سلم ( كل مولود يولد على الفطرة فأبواهيهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه

[/arabic-font]
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mahfud Fauzi
Mahfud Fauzi