Kategori
Berita kisah alumni

My Part of My Life’s History in Daarul Quran Putri Cikarang

Lewat kisah alumni kami ingin mengajak para lulusan pesantren tahfizh Daarul Qur’an untuk mengenang, bernostalgi untuk kemudian menceritakannya dalam bentuk tulisan pengalaman selama masa-masa mondok di Daarul Qur’an.

Lewat kisah alumni kami ingin mengajak para lulusan pesantren tahfizh Daarul Qur’an untuk mengenang, bernostalgi untuk kemudian menceritakannya dalam bentuk tulisan pengalaman selama masa-masa mondok di Daarul Qur’an.

 

Pesantren…? institusi pendidikan yang awalnya aku anggap kampungan dan kuno. Tapi siapa sangka dengan izin Allah, aku masuk pesantren yang kubilang kuno dan kampungan itu.

Tanggal 11 September 2011 menjadi sejarah dalam catatan hidupku. Pada tanggal itu aku mulai menjadi santri di pondok pesantren tahfizh Daarul Quran Putri Cikarang. Masih jelas tergambar dalam memori bagaimana aku dan keluarga tiba disana. Yang pertama terlintas saat itu adalah ”Bagaimana aku bisa bertahan hidup mandiri disini tanpa seorang pun yang aku kenal?“

Aku mulai melihat sekitar, saat itu pesantren Cikarang masih gersang. Bangunan asrama 3 lantai lalu juga ada bangunan kamar mandi, kantor, dan tempat makan berdiri dengan tegak. Fasilitas saat itu masih kurang memadai. Maklumlah bangunan pesantren ini baru jadi hampir 1 bulan sebelumnya. Bisa dibilang saya dan kawan-kawan adalah angkatan pertama yang tinggal di Cikarang ini.

Akhirnya salah satu adegan paling tragis dalam hidup saya saat keluargaku pamit pulang dan meninggalkanku sendiri. Dengan berat hati aku memeluk mereka satu persatu, air mata pun tumpah dari mataku seolah-olah ingin berteriak ”jangan tinggalkan aku!“.

Aku masuk untuk jenjang SMA, di sini memang tidak hanya jenjang SMA tapi ada yang masih jenjang SMP bahkan ada yg sudah lulus SMA.

Sesi berkenalan belum aku mulai, senyum kepada kawan dan pengasuh pun masih canggung meski banyak yang ramah kepadaku. Hari-hari berikutnya aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku ini, perlahan aku mulai menjalin interaksi yang hangat dengan mereka, teman-teman dengan latar belakang berbeda baik dari budaya, daerah, dan watak. Ada yang dari padang, Bogor, Jakarta, Kalimantan, sampai Papua pun ada. Sungguh ini tidak akan aku dapatkanjika aku hanya sekolah SMA biasa.

Tetapi itu semua belum menyurutkan kesedihan yang masih tersisa, rasanya saat itu satu hari bagaikan satu tahun waktu. Menangis pun menjadi agenda rutin harianku.

Lambat laun kebiasaanku mulai berubah seiring waktu seperti memakai jilbab yang dulu aku masih enggan memakainya, disini jilbab  tak pernah lepas dari kepalaku  selain ketika mandi dan tidur. Budaya mengantri menjadi budaya rutin dengan sabar yang tidak ada batasnya seperti mengantri mengambil jatah makan, wudhu, dan mandi.

Guru – guru disini sudah kita anggap sebagai orangtua sendiri. Kita jadikan beliau bukan hanya sebagai orangtua pengganti kita,tapi sebagai mentor sekaligus sahabat.

Tantangan saat itu, yang kerap menimbulkan rasa ingin pulang adalah sulitnya air. Tidak hanya di areal pesantren tapi juga warga sekitar. Mungkin karena dampak banyaknya industri di Cikarang yang berlomba mengambil air. Saat itu mandi 1 kali sehari saja sudah alhamdulillah, bahkan banyak kawan yang kerap tidak mandi. Bayangkan saja, menampung air ke dalam satu ember kecil saja butuh waktu berjam – jam. Tak heran saja kalu waktu sholat tiba dan harus mengambil air wudhu, kita harus terlebih dahulu memancing air dari keran dengan cara memasukkan salah satu jari kita ke lubang keran berkali-kali, istilah kami ” cetok-cetok” dan tak jarang pula jariku lecet karena seringnya seperti itu.

Hidup di pesantren itu sangat-sangat disiplin. Bagaimana tidak, peraturan tersebar dimana-mana dari hal yang terkecil sampai yang terbesar. Disiplin ditegakkan dan hukuman seolah olah menjadi momok yang menakutkan tapi menjadi hal yang biasa karena sudah terbiasa hidup disiplin dan penuh pertanggung jawaban atas apa yang kita perbuat. Hukuman disini tak mengenal gender, meskipun kita perempuan. Hukuman ya tetap berlaku tanpa ada negoisasi apapun!

Tak terasa satu tahun, dua tahun aku hidup di “penjara” suci ini, fasilitas pun mulai memadai. Lebih layak dari sebelumnya, dan akhirnya pada tanggal 1 Juni 2014 aku melepas statusku menjadi santri Daarul Quran Putri Cikarang. Tiga tahun aku menjalani hidup yang tentu saja banyak memberikanku pelajaran, bukan hanya pelajaran formal, namun pelajaran akan kehidupan bagaimana bersikap mandiri, sabar, penuh dengan kesederhanaan, menjadi pemimpin dan sebagainya.

Ya, memang benar apa yang guru-guru kita sering katakan bahwa “Apa yang kalian lihat, dengar, dan kalian rasakan disini adalah pendidikan“.

ditulis oleh : Afiah Febriyanti, alumni Daqu Cikarang angkatan 4