Kategori
Artikel kisah alumni

Sabar dan Murojaah Kunci Beasiswa ke Madinah

Madinah tidak hanya dikenal sebagai satu dari dua kota suci oleh umat Islam. Kota tempat diturunkannya Alquran dan hijrahnya Rasulullah saw. Selain itu kota ini juga menjadi pusat pendidikan Islam dengan berdirinya sejumlah universitas terbaik di sana. Belajar ilmu keislaman di Madinah menjadi mimpi banyak pelajar dari negeri muslim termasuk Syahdan Farhani Jamalullail.

Syahdan merupakan alumni Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an. Ia masuk pada tahun 2011 dan lulus pada tahun 2014. Semenjak SMP ia sudah memiliki cita-cita untuk melanjutkan pendidikan di Madinah. Ia sampai memasang gambar peta Kota Makkah dan Madinah di lemari dan handphonenya.

Tahun 2014 tak terasa waktu kelulusan pun tiba. Berbekal informasi yang didapat dari web dan para asatidz yang pernah belajar di Madinah, Syahdan mengumpulkan persyaratan dan mendaftar untuk ujian tes beasiswa ke Madinah. Salah satu persyaratan materi yang akan diujikan yaitu tes hafalan Alquran, dengan rasa semangat dan tekun syahdan selalu memurojaah hafalan – hafalannya dengan harapan akan mudah saat seleksi ujian tes beasiswa ke Madinah.

Pada tahun 2015 bukannya beasiswa yang didapatkan, Syahdan harus menerima kenyataan menderita penyakit cervical distonia, yaitu adanya gumpalan daging yang mengisi celah leher yang menuju otak yang menyebabkan kepala Syahdan hanya bisa menghadap ke kiri dan tidak dapat menghadap ke depan ataupun ke kanan. Tidak hanya fisik, sakit  ini juga membuat Syahdan hilang kepercayaan diri, karena hampir setiap orang yang ditemuinya melihat sinis karena posisi wajahnya yang selalu menghadap ke kiri.

Tapi Syahdan tidak menyerah. Ia tetap sabar dan tidak melupakan mimpi ke Madinah. Ia pun terus mencoba berobat dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya dan juga dengan pengobatan herbal. Meski faktanya penyakit yang dideritanya belum ada obat yang mampu menyembuhkannya. Syahdan tetap bersabar dan memiliki keyakinan hanya Allah swt yang dapat menyembuhkan penyakitnya.

Meski melewati hari hanya terbaring di kasur, Syahdan tidak lupa berdoa dan memurojaah hafalan. Hingga akhirnya menjelang akhir tahun 2015 lehernya mulai perlahan bisa digerakkan hingga akhirnya ia dinyatakan sembuh seperti sedia kala.

Setelah merasa sehat dan bisa kembali beraktivitas dengan normal, Syahdan mencoba kuliah di satu kampus di Semarang, Jawa Tengah. Selama kuliah di Semarang  ia mendapatkan berbagai macam prestasi seperti juara 2 lomba baca puisi Bambang Sadono untuk tingkat kabupaten/kota Semarang, juara harapan 2 lomba baca puisi tingkat Provinsi Jawa Tengah, juara 2 lomba story telling aerotionundip tingkat provinsi Jawa Tengah, juara harapan 1 story telling tingkat nasional, juara 1 lomba Dai Kamtibnas Porsimaptar Akademi Kepolisian tingkat nasional dan sejumlah prestasi lainnya.

Meski sudah kuliah di Semarang, mimpi untuk kuliah di Madinah tetap tidak hilang. Ia pun kembali mecoba ikut tes penerimaan mahasiswa bari di Islamic University of Madinah. Syahdan pun merasa tes kali ini ia mengikuti dengan baik utamanya pertanyaan seputar materi tes hafalan Alquran.

“Hikmah sakit yang saya derita membuat saya jadi lebih fokus dalam mengulang hafalan dan efeknya saat tes kedua untuk lanjut study di Madinah, saya merasa lebih lancar dalam menjawab pertanyaan yang diajukan” ujarnya.

Kesabaran dan semangat menjaga hafalan Alquran saat sakit berbuah nikmat diterimanya Syahdan kuliah di Madinah dengan mendapat beasiswa pada 2018. Tetapi sekali lagi Syahdan harus menunda keberangkatannya karena ada masalah visa. Ia kembali bersabar dan berdoa. Akhirnya pada awal tahun 2019 syahdan dapat berangkat ke Madinah untuk belajar di Islamic University of Madinah. Pesan syahdan untuk adik-adik dan para alumni yaitu teruslah bermimpi dan bercita-cita, apalah artinya hidup tanpa mimpi dan cita-cita. Jangan lupa iringi cita-cita kita semua dengan doa dan amal baik.

Ditulis oleh, Rifqi Akbari, alumni Daqu

Kategori
Artikel kisah alumni

Doa Orangtua dan Guru Membawa Alfisyahar Belajar di Kuwait

Menjadi imam shalat tarawih terlebih di 10 malam terakhir di satu masjid di Kuwait pastinya bukan hal yang mudah. Hal tersebut dirasakan oleh Alfisyahar saat mengetahui dirinya dipercaya menjadi Imam taraweh dan qiyamulail di Masjid Indonesia di Kuwait untuk 10 malam terakhir. Jamaah yang datang pun  tidak hanya berasal dari Indonesia  tetapi berasal dari berbagai negara seperti Mesir, Arab, Kuwait dan lainnya.

“Ini pengalaman luar biasa pastinya, sekaligus menegangkan” ujar Alfisyar saat berbicara dengan redaksi melalui aplikasi pesan.

Bagaimana tidak tegang karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi saat  menjadi imam shalat. Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Yang paling berhak untuk menjadi imam adalah orang yang paling pintar dan paling banyak hafalan Alqurannya, jika dalam hal itu sama, maka dahulukan yang paling faham dengan sunnah, jika pengetahuan sunnah (dari para kandidat imam) sama, maka dahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah, jika dalam waktu hijrah juga sama, dahulukan orang yang paling dahulu islamnya, dan janganlah seorang mengimami seorang yang memiliki kekuasaan, dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya.” Berkata Al-Asyaj  dalam suatu riwayat, kata “lebih dahulu Islamnya” diganti dengan “lebih tua umurnya”

Dari hadits di atas salah satu keutamaannya yang menjadi imam adalah mereka yang memiliki hafalan Alquran paling banyak maka dialah yang berhak menjadi Imam Sholat.  Tersebab hafalan Alquran ini yang mengantar Alfisyahar ditunjuk sebagai imam tarawih di masjid Indonesia di Kuwait. Pengurus masjid mengetahui bahwa Alfi yang merupakan alumni pesantren tahfizh Daarul Qur’an telah menyelesaikan hafalan sebanyak 30 juz.

Rachmat Alfisyahar Wakano merupakan alumni Daarul Qur’an angkatan ke 7. Putra asal Sorong, Papua ini  mengawali pendidikan di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an sejak tahun 2013 dan lulus pada tahun 2017.

Di Kuwait, Alfisyahar mendapatkan kesempatan beasiswa full non degree untuk belajar Bahasa Arab selama setahun dari Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an di Kuwait University. Program belajar Bahasa Arab ini diikuti semua umat beragama dari berbagai Negara.

“Banyak pengalaman saya dapat saat belajari di Kuwait. Misalnya, jika di pondok belajar dan berdakwah hanya sesama orang Indonesia, kalau di sini kita bisa berdakwah dengan teman-teman dari banyak negara. Saya banyak belajar dari mereka. Bahkan tidak hanya sesama muslim dengan pemeluk agama lain pun berbagi tentang nilai-nilai positif ketika belajar di pesantren dan di saat menghafal Alquran” ujarnya.

Diakhir pembicaraan Alfi berpesan untuk adik-adik dan alumni pesantren lain yaitu, “Mendapatkan beasiswa ke Kuwait bukan karena kepintaranku, melainkan karena rasa khidmatku kepada pesantren, ustadz, dan guru serta minta doa kepada kedua orangtua. Pesan saya berbuat baiklah kepada orangtua dan gurumu. Karena doa orangtua dan guru adalah kesuksesanmu. Mencoba mundur satu langkah untuk dapat melompat lebih tinggi, jika kau mampu bersabar. Allah mampu memberi lebih dari apa yang kau minta. Perbanyaklah meminta maaf kepada guru-guru kita, meskipun hati kita berkata aku gak pernah punya salah apa-apa”

Ditulis oleh, Rifqi Akbari, Alumni Daqu

Kategori
Artikel kisah alumni

Muhammad Ghulaman Zakiya : Anak Muda Harus Terlibat dan Aktif Dalam Dunia Pertanian

Meski Indonesia dikenal sebagai negara agraris profesi petani sangat dihindari kebanyakan masyarakat Indonesia apalagi kaum mudanya. Tidak jelasnya masa depan menjadi alasan utama. Mereka yang terlahir dari keluarga petani lebih memilih bekerja di kantor atau menjaga toko. Jikapun ada hanya sedikit.

Diantara sedikit pemuda yang ingin bergelut dengan dunia pertanian adalah Muhammad Ghulaman Zakiya. Pemuda kelahiran Serang, 13 Januari 1994, itu kini dipercaya mengawasi lahan pertanian Daqu Agrotechno, lembaga otonom Daarul Qur’an yang mengelola aktivitas pertanian, yang berlokasi di Cianjur, Jawa Barat.

Bagi pemuda yang akrab dipanggil Zaki tersebut, dunia pertanian memiliki keunikan tersendiri. Selain bisa dekat dengan alam ada banyak hal yang bisa didapat dari dunia tani.

“Kita bisa lebih dekat dengan Allah swt, karena apa yang ada dalam dunia pertanian benar-benar langsung berhubungan dengan alam” ujarnya.

Zaki menilai  kenapa dunia pertanian ditinggalkan generasi muda karena kurangnya informasi akan menariknya dunia pertanian. Terlebih jika prosesnya dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi maka akan banyak sesuatu yang seru timbul.

“Jika dunia ini ditinggalkan oleh generasi muda, maka dunia pertanian akan begitu-begitu saja. Padahal di berbagai negara banyak pemuda yang memutuskan menjadi petani” ujarnya.

Berawal Dari Bulak Santri

Bagi Zaki, Daarul Qur’an tidak asing lagi. Ia tercatat sebagai angkatan kedua di pesantren yang didirikan oleh KH Yusuf Mansur tersebut. Ia pun merasa bersyukur bisa masuk ke lembaga pendidikan yang fokus dalam pembibitan penghafal Alquran tersebut dengan mendapat beasiswa.

Zaki masuk Daarul Qur’an pada tahun 2006 untuk tingkat SMP. Awalnya ia kerap mengikuti tausiyah Yusuf Mansur yang ketika itu sering menghiasi layar kaca. Suatu ketika saat sedang membaca harian Republika ia membaca info peluang masuk pesantren Daarul Qur’an.

“Saya yang ketika itu telah muncul hasrat menjadi penghafal Alquran lansung mendaftar untuk mengikuti seleksi”

Alhamdulillah, dengan izin Allah, Zaki diterima sebagai bagian 32 santri yang lolos seleksi. Padahal ada ratusan yang mendaftar ketika itu. Saat itu pesantren Daqu masih berlokasi di Kecamatan Karang Tengah, Ciledug, Tangerang, Banten. Gedungnya pun jauh dari lokal pesantren Daqu saat ini. Bangunan sekolah juga seadanya, terdiri dari dua ruangan kelas dan satu kantor. Itupun berupa tembok setengah badan, sisanya jendela kawat. Tapi kami menikmati proses tersebut.

“Tapi di Bulak itu kita belajar akan kemandirian dan semangat pantang menyerah” ujarnya.

Pada tahun 2012 Zaki menamatkan pendidikan SMU di Daqu. Ia pun langsung mengabdi di pesantren Daarul Qur’an Al Jannah, Cariu, Bogor, selama satu tahun. Tahun 2013  ia mencoba unuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang melalui jalur undangan (jalur nilai ijazah).

“Alhamdulillah dengan izin Allah saya diterima di Jurusan Agribisnis, UMM. Karena saya masuk melalui jalur undangan, maka saya dibebaskan dari biaya SPP selama satu semester” ujarnya.

Di semester kedua, karena belum ada pendaftaran beasiswa, Zaki mencoba berjualan es krim sayur untuk melatih mental berwirausaha dan juga menambah uang jajan. Cukup merepotkan memang kuliah sambil produksi es krim. Akhirnya pada semester tiga ia memutuskan untuk tidak berjualan es krim lagi.

“Tapi bukan berarti saya berhenti berwirausaha. Waktu itu saya mencoba untuk berjualan produk olahan jamur seperti tahu, bakso jamur, risoles jamur dan lainnya” ujarnya.

Awalnya ia mencba untuk produksi olahan jamur itu sendiri. Tapi karena waktu sisa hanya sedikit, mengingat kuliahnya yang semakin padat, Zaki memutuskan untuk menjadi reseller produk tersebut (olahan jamur).

“Semester empat saya mencoba untuk seleksi beasiswa Djarum, tapi belum diterima. Saya tetap berjualan produk olahan jamur di luar kesibukan saya kuliah dan berorganisasi. Alhamdulillah di semester enam saya mengikuti seleksi beasiswa Toyota Astra dan qodarullah saya diterima. Meskipun sudah mendapatkan beasiswa, saya tetap berjualan olahan jamur” kenangnya.

Saat di semester akhir timbul hasrat untuk bergabung di perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian seusau lulus nanti. Saat itu ia belum tahu ada Daqu Agrotechno. Hingga akhirnya pada bulan September 2017, ia bersilaturahim dengan ustadz Daarul Qutni dan Ustadz Murdiyanto yang pada waktu itu keduanya sedang berada di Malang.

“Dari obrolan bersama mereka  saya baru mengetahui bahwa Daarul Qur’an mempunyai unit usaha yg juga bergerak di bidang pertanian. Saya mencoba mencari tahu dari website dan Instagram Daqu Agrotechno. Melihat visi dan misi  Daqu Agrotechno, saya tertarik untuk bergabung karena ada kesamaan visi dan nilai untuk mengamalkan ilmu yang saya dapatkan selama berkuliah sambil mempelajari dunia profesional secara riil”

Dengan izin Allah, Januari 2018 Zaki mulai bergabung bersama Daqu Agrotechno. Ia berharap langkahnya ini bisa menjadi ikhtiar bersama untuk menebar manfaat di dunia pertanian khususnya dengan mengkolaborasikan dengan Daqu value.

“Saya juga merasa bisa bergabung dengan Daqu Agrotechno berkat doa para petani yg menjadi responden penelitian skripsi saya. Karena dalam setiap silaturrahim saya ke petani, selalu ada doa dan harapan yang dititipkan dan terpanjatkan, baik untuk para petani dan juga kembali pada diri sendiri. Ini merupakan pengamakan dari salah satu Daqu Value, “Berdoa, mendoakan, minta didoakan” ujarnya mantap menutup pembicaraan.

Kategori
Artikel kisah alumni Pesantren

Berkah Istiqomah Bersama Alquran

Menjadi penghafal Quran merupakan impian semua umat muslim. Ada yang dapat menghafalkan Alquran dalam waktu tiga Tahun, satu Tahun, satu Bulan bahkan ada yang dapat menghafalkannya dalam waktu satu minggu. Walau terlihat mudah dalam menghafalkan Alquran namun untuk istiqomah dalam menjaga hafalan Quran bukan pekerjaan gampang.

Itulah yang dirasakan Muhammad Abid, Alumni Daarul Qur’an Angkatan ke – 6. Sejak lulus dari pesantren tahun 2016 dan merasakan dunia perkuliahan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjaga hafalan merupakan tantangan yang tidak mudah. Walaupun tidak mudah, Abid berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga apa yang telah diraihnya tersebut.

Abid merupakan mahasiswa UPI kuliah jurusan Pendidikan Matematika angkatan ke 2017. Di Kampus, Abid tergabung dalam organisasi BEM Himatika Identika UPI atau lebih dikenal dengan istilah (HIU) sebagai Ketua Divisi Kerohanian. Sebagai Ketua Divisi Kerohanian Abid mengusulkan 4 program yaitu Statmat (sasarengan Taklim ti Himatika) : Kajian rutin, satu semester 2 kali, Postulat : Kajian keakhwatan, sebulan sekali, Binomial (Bina Mentoring dan Tutorial) : Mentoring baca Qur’an, dan Diskriminan (Dakwah Online an Buletin Online).

Selain menjadi ketua divisi kerohanian, berkah istiqomah dengan Alquran yaitu mendapatkan Beasiswa Imam Muda Salman, Abid berhak mendapatkan uang saku, dapat pembinaan yang diajarkan langsung oleh orang-orang yang ahli dibidangnya, seperti ustadz Muzammil di bidang maqomat, kemudian tajwid bersama syaikh Kanova Maulana dan yang paling penting adalah pengalaman baru karena sering ditugaskan menjadi imam muda ke sekeliling bandung khususnya pada bulan puasa.

“Keterima tahun 2018. Awalnya lihat informasi diakhir tahun 2017 di Instagram ada info beasiswa Imam Muda Salman, kirim file rekaman dan jawab beberapa pertanyaan yang ada di halaman website” ujar Abid mengisahkan awal mula mendapat beasiswa Salman. “Saat itu yang daftar ada 1004 termasuk dari Malaysia, kemudian di pilih 40 orang dari 1004, 40 orang ini diundang langsung ke salman untuk tes baca Quran secara langsung. Tes dibagi menjadi 3, yaitu tes langgam Alquran, langsung di tes ustadz Muzammil, tes tajwid, dengan syekh Kaova Maulana (penerima sanad), wawancara, nah dari 40 orang ini dipilihlah 20 orang yang dinyatakan lulus beasiswa.” Ujar Abid.

Kini di tengah kesibukan kuliah dah tugas sebagai imam muda, Abid tengah belajar langsung maqomat dengan ustadz Muzammil dan beberapa kali sudah menjadi Imam di masjid ITB.


Menghadirkan Suasana Alquran

Satu tantangan bagi penghafal Alquran setelah keluar dari pondok adalah menjaga hafalan itu sendiri. Hal tersebut yang dirasakan oleh Abid. Maka untuk menjaga hafalan serta ibadah layaknya di pesantren, Abid mencari lokasi tinggal dengan suasana layaknya pesantren. Dipilihlah lokasi tinggal dekat dengan masjid pesantren Daarut Tauhid.

“Dengan kos di dekat masjid Daarut Tauhid saya tidak kehilangan semangat untuk beribadah. Saya bisa tetap shalat jamaah dan mengaji serta murojaah hafalan seusai shalat” ujar Abid.

Ia pun berpesan kepada para santri yang masih menempuh pendidikan di pesantren unuk tetap semangat belajar Alquran agar keberkahan Alquran tetap mengikuti kita dalam kehidupan.

ditulis oleh : Rifki Akbari, Alumni Daqu

Kategori
Artikel kisah alumni Pesantren

Muhammad Egata Asysyakur: Alumni Daqu Pertama di UGM

Muhammad Egata Asysyakur menjadi alumni Daarul Qur’an pertama yang merasakan kuliah di salah satu kampus favorit di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Tentu bukan hal yang mudah untuk bisa menjadi mahasiwa di universitas tersebut, terlebih lagi sebagai santri yang harus mengikuti kegiatan pembelajaran 24 jam di pesantren. Belum lagi di tambah ujian-ujian lainnya seperti ujian lisan, ujian pondok, ujian nasional dan ujian tahfidz yang pasti akan sangat menguras pikiran dan tenaga.

Namun usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, tepatnya ketika program dauroh untuk menyelesaikan 30 juz selama 1 bulan dilaksanakan. Bermodalkan buku SBMPTN yang dia beli di satu toko buku, Egata selalu meluangkan waktu untuk belajar dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian SBMPTN. Jadi terkadang dalam sehari ketika sudah sampe target 1 hari 1 juz, Egata selalu meluangkan waktunya di malam hari untuk belajar bersama teman bahkan lebih sering hanya seorang diri.

Bagi mantan bagian Bahasa dan Penerangan angkatan ke 5 di OSDAQU, Hanya kata lelah yang menghentikan tekad kerasnya dalam belajar. Beberapa bulan kemudian dibukalah pendaftaran SBMPTN, ternyata ujian Egata tidak hanya melawan kata lelah dalam belajar. Akan tetapi dia harus merelakan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya yang melaksanakan program pendadaran di daerah pangandaran. Karena mengikuti tes ujian SBMPTN.

Alhamdulillah disaat pengumuman Egata dinyatakan lulus dan diterima menjadi mahasiswa UGM jurusan Sastra Arab angkatan 2015. “Yang deg-degan itu bukan waktu ujian, melainkan ketika menunggu hasil ujiannya lulus apa tidak” ucap Egata. Selain tekad belajar yang kuat Egata selalu menjalankan Daqu Method. Baginya Daqu Method adalah teman sejatinya yang mengiringi waktu-waktu menunggu pengumuman hasil ujian. Pesan Egata untuk para alumni dan adik-adik kelas yaitu selalu berbuat baik terhadap siapaapun dan jalankanlah Daqu Method.

Kuliah Sambil Usaha

Egata kini duduk di semester 8. Ia pernah menjadi ketua himpunan, Panitia pengarah di acara bertingkat nasional dan juga magang di Kementerian Luar Negeri. Selain itu ia juga penerima beasiswa bisnis mandiri syariah lewat usaha Gosis (Goedang Sosis).

Gosis merupakan usaha yang dibangun sendiri oleh Egata. Awalnya ia menjual sosis bakar dengan aneka rasa tersebut ke teman-teman terdekatnya. Jika ke kampus ia tidak hanya membawa buku pelajaran tapi juga Gosis pesanan rekan-rekannya.

Di UGM Egata pernah menjadi ketua himpunan, SC di acara tingkat nasional, Magang di KEMENLU dan menjadi penerima beasiswa bisnis mandiri syariah dengan usaha GOSIS (Goedang Sosis). Bagi Anda yang berada di sekitar Yogyakarta dan penasaran dengan sosis produksi Egata, bisa langsung order dengan mengunjungi akun instagram @goedangsosis.id

 

Ditulis oleh: Rifqi Akbari, Wakil Ikadaqu

Kategori
Berita kisah alumni Pesantren

Lima Lulusan Daqu Lanjutkan Pendidikan di Yaman

Lima orang lulusan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an melanjutkan studi Alquran di Mahad Al Idrus Lil Qiraat Al Qur’an yang berada di kawasan Pasar Tarim, Yaman. Kelima santri tersebut yakni Fadlan AlMakki, Putra Esra Mahendra, Muhammad Aufi, Faruq Hazar serta Zein Ghifari Hifdzullah.

Mahad Idrus adalah institusi pendidikan yang didirikan oleh Habib Abdullah bin Abdul Qadir al Aidrus pada tahun 1425 h/2004 M. Pusat pendidikan Alquran ini berdekatan dengan Zawiyah Syekh Ali bin Abu Bakar Sakran di kawasan Pasar Tarim. Ada tiga ilmu Alquran yang diajarkan di mahad ini yakni Hafalan Alquran, Qiraat serta Syariah.

Kelima santri tersebut terbang menggunakan maskapai Emirates pada Rabu, 20 Februari 2019. Kelimanya diharapkan dapat meningkatkan ilmu Alquran mereka sebagaimana pesan dari KH. Yusuf Mansur agar nanti akan banyak generasi muda Islam Indonesia yang menjadi ulama berkualitas internasional.

Kategori
Artikel KH. Yusuf Mansur kisah alumni

Kisah Lulusan S1 Yang Memilih Mengajar Ngaji Anak-Anak Jailolo

Umumnya mereka yang baru lulus kuliah jenjang strata satu (S1) pasti memilih untuk sibuk mencari pekerjaan. Disaat banyak kawannya mengirim lamaran kerja ke berbagai instansi, Rizky Yanuar Rini memilih ikut program Kader Tahfizh PPPA Daarul Qur’an, begitu dirinya lulus dari Pendidikan Guru di Universitas Negeri Semarang.

Kader Tahfizh adalah program yang digulirkan untuk menambah para pengajar Alquran buat daerah-daerah pelosok. Peserta kader tahfizh sebelumnya akan digodok selama 1 tahun untuk mendapatkan pembekalan ilmu Alquran dan lainnya. Setelah itu mereka akan ditempatkan di wilayah-wilayah marjinal untuk mendampingi anak-anak belajar mengaji.

Rizky mengenal program kader tahfizh dari sebuah flyer di dalam grup percakapan whatsapp. Ia pun mulai mencari tahu dan setelah merasa cocok ia memberanikan diri untuk mengikuti ujian hingga akhirnya dinyatakan lolos dan mulai memasuki tahap penggemblengan. Hingga akhirnya ia ditempatkan di rumah tahfizh Bobanehena yang berada di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.

Tentang alasannya memilih ikut program ini Rizky mengaku ia tertantang dengan tema merawat Indonesia dengan Alquran. Ia ingin terlibat dalam dream Daarul Qur’an untuk mendawamkan Alquran di pelosok negeri hingga menjadi pedoman, Rasulullaah sebagai teladan dan menjadikan Allah pangkal segala urusan.

“Tapi sebenarnya saya ingin terus bergerak mencari makna juga arti, dari kesempatan kuliah dan hidup di kota yang sudah Allah beri, akankah hanya berguna untuk diri atau disebar hingga ujung negeri. Kini saatnya menempa diri, memupuk sabar juga tawakal di tanah penugasan. Melanjutkan kuliah kehidupan selama dua semester dan memungut hikmah dari kejadian-kejadian di berbagai persinggahan” ujarnya.

Ia menyadari dirinya masih fakir ilmu tapi setidaknya kehadiran ia di tengah anak-anak Jailolo nantinya akan bisa bersama untuk meninggikan lafal Alquran.

Rizky pun bersyukur, lewat program ini dirinya bisa mengenal dan tinggal di Jailolo. Ini daerah yang asing baginya. Ia pun banyak mencari lewat internet saat tahu akan ditempatkan di Jailolo. Datang dari tanah Jawa ke tanah Maluku membuat ia harus ekstra adaptasi. Dari mulai cuaca yang panas karena berada di pesisir hingga soal makanan dimana ikan selalu menjadi menu utama apalagi papeda makanan khas yang terbuat dari sagu.

“Pokoknya awal kedatangan saya itu benar-benar mulai dari nol. Mulai dari cuaca, makanan yang rasanya aneh di lidah saya, bahasa dan juga adat budaya yang bagaikan bumi dan langit dengan budaya saya di Jawa” ujarnya.

Tapi itu tidak menjadikan Rizky mutung, sebaliknya ia menjadikan itu sebagai ajang pelajaran hidup baginya, juga untuk menghilangkan egoisme diri. Perlahan demi perlahan Rizky mulai bisa meresap apapun yang ada di Jailolo ke dalam dirinya.

“Tapi masih kangen banget bakso” ujarnya sambil ketawa.

Ia pun mulai menemukan cerita seru setiap harinya. Ia mulai belajar bahasa masyarakat Jailolo yang menggunakan bahasa daerah Kesultanan Ternate. Satu yang ia syukuri ternyata banyak orang baik di Jailolo yang selalu mendukung kegiatan dakwahnya.

“Torang pe muka ini memang seram ustadzah, tapi torang pe hati ini baik dan lembut” ujar satu penduduk lokal padanya. Ia pun mulai belajar untuk tidak menghakimi sesuatu dari dzohirnya tanpa menilik batinnya.

Satu yang masih ia ingat dengan sangat adalah mengunyah buah Pinang. Awalnya aneh, tapi buah Pinang menjadi alat yang tepat untuk membuka komunikasi di Jailolo, “Gara-gara Pinang kami kini dianggap anak sendiri oleh Mama-Mama Katola” jelasnya.

Semangat Menghafal Para Santri

Usai adaptasi dengan lingkungan, Rizky harus beradaptasi lagi dengan tingkah polah anak-anak Jailolo. Karakter anak Indonesia Timur sekaligus anak pesisir yang superkinestetis menjadi hal yang menarik setiap mengajar. Adegan baku adu jurus silat, baku lempar songkok, baku tindih, baku dusuh hingga panjat-memanjat jendela adalah pemandangan sehari-hari. Gendang telinga yang kian hari kian menebal seiring teriakan dari 100 anak lebih setiap hari. Urat leher yang makin hari makin tergurat karena harus berteriak jika ngobrol dengan santri-santri menggemaskan itu.

Tapi itu semua terbayar mengingat kemampuan menghafal anak-anak yang super cepat dan lumayan bertahan lama di dinding ingatan. Selain itu ia selalu terharu dengan semangat juang wali santri yang dalam kondisi cuaca apapun rela mengantarkan anaknya mengaji dan berlomba-lomba bersedekah untuk rumah tahfidz.

“Mohon doanya agar santri-santri Rumah Tahfidz Bobanehena selalu Allah jaga dalam ketaatan, kebaikan dan keistiqomahan dengan Alquran” ujarnya.

Kategori
Artikel Cikarang kisah alumni Pesantren

Mimpi Balinisa Yang Ingin Belajar Animasi Sekaligus Mengabdi di Rumah Tahfizh Jepang

Bagi penggemar anime menjadi animator adalah impian tertinggi dan bagi para animator Jepang adalah tempat belajar tujuan. Sekolah animator hingga peluang untuk menjadi animator tersebar di sana dengan sejumlah keunggulannya. Dengan berbagai pesonanya jadilah Jepang menjadi tujuan banyak pelajar untuk melanjutkan studinya termasuk Balinisa, Alumni Daarul qur’an Putri Cikarang Angkatan 8.

Perempuan yang kerap dipanggil Bali ini menyukai anime sejak kecil. Tidak hanya menikmati gambar para animator anime, Bali juga mencoba untuk membuat gambar dan ceritanya sendiri. Seiring waktu ia menemukan passion saat menggambar. Maka rencana untuk belajar ilmu astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) ia urungkan berganti mimpi belajar animasi di Jepang.

Nah, untuk mengetahui apa dan bagaimana rencana Balinisa di Jepang nanti, kita simak obrolan Siti Hurhaliza dari daqu.sch.id bersama animatir kebanggan Daqu Cikarang ini.

Apa yang membuat Bali ingin kuliah ke Jepang?
Aku dari kecil memang mau ke Jepang. Itu cita – citaku. Apalagi aku sangat tertarik dengan anime dan Jepang kondusif untuk industri itu.

Bukannya Bali ada tujuan kuliah Astronomi di ITB? Bagaimana kelanjutannya?
Iya, memang sebelumnya aku ingin kuliah di ITB, tapi aku sadarin lagi kuliah itukan jurusannya lebih enak jika sesuai passion kita dan perlahan aku menemukan passion di animasi.

Kenapa Animasi?
Awalnya aku suka animasi. Perlahan tumbuh keinginan untuk menjadikan animasi di Indonesia lebih berkualitas. Makanya aku mau cari ilmu dulu biar grafis dan plot ceritanya lebih baik lagi.

Kabarnya Bali berniat mengabdi di salah satu rumah tahfizh yang ada di Jepang?
Ya!

Kalo boleh tau apa motivasi nya, Bal?
Karna aku ada hafalan jadi aku bertanggung jawab untuk menjaga itu dan aku memang berniat untuk dakwah sekaligus mengenalkan islam di sana.

Lalu apa yang akan dilakukan seusai belajar di Jepang?
Aku mau memajukan konten kreatif di Indonesia biar gak kalah sama negara lain agar animasi Indonesia bisa semakin dikenal di luar negeri.

Apakah orangtua mendukung?
Ya, karena bapakku orang grafis. Beliau mendukung aku banget.

Universitas mana yang dipilih di Jepang?
Digital Hollywood University

Kenapa harus Digital Hollywood University?
Karena insya Allah banyak peluang di sana dan kalau jodoh Insya Allah Aku mendapat beasiswa.

Apakah Daqu Mendukung?
Alhamdulillah Ustaz Anwar Sani dan Ustaz Jameel mendukung. Temen dan orangtua juga mendukung penuh cita – cita Aku ini, minta doanya juga yang dari pembaca daqu.sch.id

Ada pesan untuk millenials yang juga punya cita-cita serupa?
Kalian gak boleh berhenti bermimpi dan jika sudah punya mimpi jangan dianggurin. Mimpinya harus diperjuangkan. Kalo bisa cicil dari sekarang dengan nabung sholawat, karena dari situ bisa jadi mimpi kita tercapai dengan berkah sholawat.

Kategori
Berita kisah alumni

My Part of My Life’s History in Daarul Quran Putri Cikarang

Lewat kisah alumni kami ingin mengajak para lulusan pesantren tahfizh Daarul Qur’an untuk mengenang, bernostalgi untuk kemudian menceritakannya dalam bentuk tulisan pengalaman selama masa-masa mondok di Daarul Qur’an.

 

Pesantren…? institusi pendidikan yang awalnya aku anggap kampungan dan kuno. Tapi siapa sangka dengan izin Allah, aku masuk pesantren yang kubilang kuno dan kampungan itu.

Tanggal 11 September 2011 menjadi sejarah dalam catatan hidupku. Pada tanggal itu aku mulai menjadi santri di pondok pesantren tahfizh Daarul Quran Putri Cikarang. Masih jelas tergambar dalam memori bagaimana aku dan keluarga tiba disana. Yang pertama terlintas saat itu adalah ”Bagaimana aku bisa bertahan hidup mandiri disini tanpa seorang pun yang aku kenal?“

Aku mulai melihat sekitar, saat itu pesantren Cikarang masih gersang. Bangunan asrama 3 lantai lalu juga ada bangunan kamar mandi, kantor, dan tempat makan berdiri dengan tegak. Fasilitas saat itu masih kurang memadai. Maklumlah bangunan pesantren ini baru jadi hampir 1 bulan sebelumnya. Bisa dibilang saya dan kawan-kawan adalah angkatan pertama yang tinggal di Cikarang ini.

Akhirnya salah satu adegan paling tragis dalam hidup saya saat keluargaku pamit pulang dan meninggalkanku sendiri. Dengan berat hati aku memeluk mereka satu persatu, air mata pun tumpah dari mataku seolah-olah ingin berteriak ”jangan tinggalkan aku!“.

Aku masuk untuk jenjang SMA, di sini memang tidak hanya jenjang SMA tapi ada yang masih jenjang SMP bahkan ada yg sudah lulus SMA.

Sesi berkenalan belum aku mulai, senyum kepada kawan dan pengasuh pun masih canggung meski banyak yang ramah kepadaku. Hari-hari berikutnya aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku ini, perlahan aku mulai menjalin interaksi yang hangat dengan mereka, teman-teman dengan latar belakang berbeda baik dari budaya, daerah, dan watak. Ada yang dari padang, Bogor, Jakarta, Kalimantan, sampai Papua pun ada. Sungguh ini tidak akan aku dapatkanjika aku hanya sekolah SMA biasa.

Tetapi itu semua belum menyurutkan kesedihan yang masih tersisa, rasanya saat itu satu hari bagaikan satu tahun waktu. Menangis pun menjadi agenda rutin harianku.

Lambat laun kebiasaanku mulai berubah seiring waktu seperti memakai jilbab yang dulu aku masih enggan memakainya, disini jilbab  tak pernah lepas dari kepalaku  selain ketika mandi dan tidur. Budaya mengantri menjadi budaya rutin dengan sabar yang tidak ada batasnya seperti mengantri mengambil jatah makan, wudhu, dan mandi.

Guru – guru disini sudah kita anggap sebagai orangtua sendiri. Kita jadikan beliau bukan hanya sebagai orangtua pengganti kita,tapi sebagai mentor sekaligus sahabat.

Tantangan saat itu, yang kerap menimbulkan rasa ingin pulang adalah sulitnya air. Tidak hanya di areal pesantren tapi juga warga sekitar. Mungkin karena dampak banyaknya industri di Cikarang yang berlomba mengambil air. Saat itu mandi 1 kali sehari saja sudah alhamdulillah, bahkan banyak kawan yang kerap tidak mandi. Bayangkan saja, menampung air ke dalam satu ember kecil saja butuh waktu berjam – jam. Tak heran saja kalu waktu sholat tiba dan harus mengambil air wudhu, kita harus terlebih dahulu memancing air dari keran dengan cara memasukkan salah satu jari kita ke lubang keran berkali-kali, istilah kami ” cetok-cetok” dan tak jarang pula jariku lecet karena seringnya seperti itu.

Hidup di pesantren itu sangat-sangat disiplin. Bagaimana tidak, peraturan tersebar dimana-mana dari hal yang terkecil sampai yang terbesar. Disiplin ditegakkan dan hukuman seolah olah menjadi momok yang menakutkan tapi menjadi hal yang biasa karena sudah terbiasa hidup disiplin dan penuh pertanggung jawaban atas apa yang kita perbuat. Hukuman disini tak mengenal gender, meskipun kita perempuan. Hukuman ya tetap berlaku tanpa ada negoisasi apapun!

Tak terasa satu tahun, dua tahun aku hidup di “penjara” suci ini, fasilitas pun mulai memadai. Lebih layak dari sebelumnya, dan akhirnya pada tanggal 1 Juni 2014 aku melepas statusku menjadi santri Daarul Quran Putri Cikarang. Tiga tahun aku menjalani hidup yang tentu saja banyak memberikanku pelajaran, bukan hanya pelajaran formal, namun pelajaran akan kehidupan bagaimana bersikap mandiri, sabar, penuh dengan kesederhanaan, menjadi pemimpin dan sebagainya.

Ya, memang benar apa yang guru-guru kita sering katakan bahwa “Apa yang kalian lihat, dengar, dan kalian rasakan disini adalah pendidikan“.

ditulis oleh : Afiah Febriyanti, alumni Daqu Cikarang angkatan 4

Kategori
Berita Berita Foto kisah alumni Pesantren

Alumni Daqu Belajar ke Negri Cina

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Ahad 12 Oktober 2018, Daarul Qur’an kembali mengirim alumninya untuk melanjutkan studi di luar negri, kali ini Alumni Daarul Qur’an akan membuka sayapnya di negri tirai bambu, Cina.

Adalah Rizqi Putra, Adl Noor Vindhy, Hafizh Akbar, Ridho Ramadhan Hanafi. Mereka Alumni angkatan 8 yang berminat untuk melanjutkan study mereka di bidang kedokteran di Cheng du, Cina.

Berangkat dari Bandara Internasional Soekarno Hatta bersama para calon mahasiswa lainnya, para alumni Daarul Qur’an akan menempuh perjalanan sekitar 7 jam di dalam pesawat untuk transit di Shang hai, kemudian melanjutkannya ke Cheng du.

Keberangkatan ini adalah keberangkatan yang kedua bagi Daarul Qur’an ke China, usai sebelumnya Daarul Qur’an mengirim 3 Alumninya yaitu, Rafi Aditya, Fiandi averil, dan Almahendra yang mengambil jurusan teknik dan berangkat ke Lanzhou University pada tanggal 22 Agustus kemarin.

Berbeda fakultas dan jurusan. Alumni kloter pertama (Fakultas Teknik) harus berangkat lebih awal untuk menjalani pembelajaran intensif dalam berbahasa Mandarin, dikarenakan bahasa Mandarin lah yang akan menjadi bahasa pokok dalam pembelajaran di Universitas, sedangkan untuk para alumni yang melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran harus memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pokok.

(baca juga : Saatnya Bangun Ikadaqu di Cina)

Hal ini merupakan buah dari pembekalan santri akhir pada akhir tahun lalu, dimana santri-santri akan dikenalkan dengan dunia pendidikan lanjutan dan juga diadakan seminar khusus oleh Biro Litbang dan Pendidikan yang membahas dunia seputar kuliah baik dalam negri maupun luar negri.

Sebelumnya telah dilaksanakan acara Pelepasan Alumni Daarul Qur’an yang akan melanjutkan studi di Cina yang dilaksanakan di Aula Al Maidah Pondok Pesantren Daarul Qur’an, pada Kamis, tanggal 23 Agustus lalu. Acara dihadiri oleh Ayahanda K.H Yusuf Mansur dan ustadz Ahmad Jameel juga pimpinan lainnya. juga dihadiri oleh para Dekan dan Dosen dari Universitas Cheng du sendiri dan direktur dari CNY Education, lembaga konsultasi pendidikan yang memberikan jalur untuk Alumni Daarul Qur’an ke Universiatas di Cina.

“it’s all belong to Allah. So, its easy for you, to get your dream, if you know belong to who? everything you want, everything you need, if you know belong to who. you can get it insyaallah,” begitu nasehat yang disampaikan Ayahanda K.H Yusuf Mansur, di acara Pelepasan.

Kemudian salah satu dari dosen Universitas Cheng du yang hadir saat itu juga memberikan salam terima kasih karena telah disambut hangat oleh para santri, dan senang karena melihat reaksi alumni Daarul Qur’an yang bersemangat untuk belajar, dan menjadi mahasiswa di Universitasnya.[/vc_column_text][vc_media_grid grid_id=”vc_gid:1539749425926-6ec9741a-f389-4″ include=”18169,18170,18172,18171,18173,18174,18175,18176,18177″][/vc_column][/vc_row]