Kategori
Artikel KH. Yusuf Mansur kisah alumni

Kisah Lulusan S1 Yang Memilih Mengajar Ngaji Anak-Anak Jailolo

Rizky tertantang dengan tema merawat Indonesia dengan Alquran

Umumnya mereka yang baru lulus kuliah jenjang strata satu (S1) pasti memilih untuk sibuk mencari pekerjaan. Disaat banyak kawannya mengirim lamaran kerja ke berbagai instansi, Rizky Yanuar Rini memilih ikut program Kader Tahfizh PPPA Daarul Qur’an, begitu dirinya lulus dari Pendidikan Guru di Universitas Negeri Semarang.

Kader Tahfizh adalah program yang digulirkan untuk menambah para pengajar Alquran buat daerah-daerah pelosok. Peserta kader tahfizh sebelumnya akan digodok selama 1 tahun untuk mendapatkan pembekalan ilmu Alquran dan lainnya. Setelah itu mereka akan ditempatkan di wilayah-wilayah marjinal untuk mendampingi anak-anak belajar mengaji.

Rizky mengenal program kader tahfizh dari sebuah flyer di dalam grup percakapan whatsapp. Ia pun mulai mencari tahu dan setelah merasa cocok ia memberanikan diri untuk mengikuti ujian hingga akhirnya dinyatakan lolos dan mulai memasuki tahap penggemblengan. Hingga akhirnya ia ditempatkan di rumah tahfizh Bobanehena yang berada di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.

Tentang alasannya memilih ikut program ini Rizky mengaku ia tertantang dengan tema merawat Indonesia dengan Alquran. Ia ingin terlibat dalam dream Daarul Qur’an untuk mendawamkan Alquran di pelosok negeri hingga menjadi pedoman, Rasulullaah sebagai teladan dan menjadikan Allah pangkal segala urusan.

“Tapi sebenarnya saya ingin terus bergerak mencari makna juga arti, dari kesempatan kuliah dan hidup di kota yang sudah Allah beri, akankah hanya berguna untuk diri atau disebar hingga ujung negeri. Kini saatnya menempa diri, memupuk sabar juga tawakal di tanah penugasan. Melanjutkan kuliah kehidupan selama dua semester dan memungut hikmah dari kejadian-kejadian di berbagai persinggahan” ujarnya.

Ia menyadari dirinya masih fakir ilmu tapi setidaknya kehadiran ia di tengah anak-anak Jailolo nantinya akan bisa bersama untuk meninggikan lafal Alquran.

Rizky pun bersyukur, lewat program ini dirinya bisa mengenal dan tinggal di Jailolo. Ini daerah yang asing baginya. Ia pun banyak mencari lewat internet saat tahu akan ditempatkan di Jailolo. Datang dari tanah Jawa ke tanah Maluku membuat ia harus ekstra adaptasi. Dari mulai cuaca yang panas karena berada di pesisir hingga soal makanan dimana ikan selalu menjadi menu utama apalagi papeda makanan khas yang terbuat dari sagu.

“Pokoknya awal kedatangan saya itu benar-benar mulai dari nol. Mulai dari cuaca, makanan yang rasanya aneh di lidah saya, bahasa dan juga adat budaya yang bagaikan bumi dan langit dengan budaya saya di Jawa” ujarnya.

Tapi itu tidak menjadikan Rizky mutung, sebaliknya ia menjadikan itu sebagai ajang pelajaran hidup baginya, juga untuk menghilangkan egoisme diri. Perlahan demi perlahan Rizky mulai bisa meresap apapun yang ada di Jailolo ke dalam dirinya.

“Tapi masih kangen banget bakso” ujarnya sambil ketawa.

Ia pun mulai menemukan cerita seru setiap harinya. Ia mulai belajar bahasa masyarakat Jailolo yang menggunakan bahasa daerah Kesultanan Ternate. Satu yang ia syukuri ternyata banyak orang baik di Jailolo yang selalu mendukung kegiatan dakwahnya.

“Torang pe muka ini memang seram ustadzah, tapi torang pe hati ini baik dan lembut” ujar satu penduduk lokal padanya. Ia pun mulai belajar untuk tidak menghakimi sesuatu dari dzohirnya tanpa menilik batinnya.

Satu yang masih ia ingat dengan sangat adalah mengunyah buah Pinang. Awalnya aneh, tapi buah Pinang menjadi alat yang tepat untuk membuka komunikasi di Jailolo, “Gara-gara Pinang kami kini dianggap anak sendiri oleh Mama-Mama Katola” jelasnya.

Semangat Menghafal Para Santri

Usai adaptasi dengan lingkungan, Rizky harus beradaptasi lagi dengan tingkah polah anak-anak Jailolo. Karakter anak Indonesia Timur sekaligus anak pesisir yang superkinestetis menjadi hal yang menarik setiap mengajar. Adegan baku adu jurus silat, baku lempar songkok, baku tindih, baku dusuh hingga panjat-memanjat jendela adalah pemandangan sehari-hari. Gendang telinga yang kian hari kian menebal seiring teriakan dari 100 anak lebih setiap hari. Urat leher yang makin hari makin tergurat karena harus berteriak jika ngobrol dengan santri-santri menggemaskan itu.

Tapi itu semua terbayar mengingat kemampuan menghafal anak-anak yang super cepat dan lumayan bertahan lama di dinding ingatan. Selain itu ia selalu terharu dengan semangat juang wali santri yang dalam kondisi cuaca apapun rela mengantarkan anaknya mengaji dan berlomba-lomba bersedekah untuk rumah tahfidz.

“Mohon doanya agar santri-santri Rumah Tahfidz Bobanehena selalu Allah jaga dalam ketaatan, kebaikan dan keistiqomahan dengan Alquran” ujarnya.