Kategori
Artikel

Kejutan Dari si Bungsu

Tahfizh reward buat orangtua

Bibir Nur Athifah Isnani (17) dan Audy Amanda Pramesty (12) mengatup, mengembangkan senyum. Rona merah terlihat pada pipi keduanya. Audy tersenyum menundukan kepala sembari memainkan jari jemarinya. Sementara  Nur Athifah, yang lebih tinggi, tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang berjejer rapi.

Ekspresi keduanya terlihat lucu dan menggemaskan. Keduanya baru saja diberitahu bahwa merekalah peraih tahfizh reward yang diumumkan di hari terakhir bulan Oktober lalu. Ya, kedua santri tersebut merupakan peraih Tahfizh Reward di Daarul Qur’an Putri Cikarang. Penghargaan ini rutin diberikan setiap bulannya bagi satu santri terbaik dari masing-masing jenjang SMP dan SMA.

“Ana engga nyangka. Ana kan OSDAQU bagian tahfizh jadi pasti memang biasanya disuruh untuk manggil anak-anak tahfizh reward, terus eh kok nama ana ada didaftar. Ana kaget dan sedikit engga percaya.”, cerita Athifa tersenyum sambil menutup setengah wajahnya.

“Kalo ana.. ana..ana engga tau…ana bingung.”, ujar Audy polos. Masih tersipu malu. Matanya bening dan berbinar-binar. Air mukanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang menyelimuti hatinya. Bahagia.

Kabar gembira ini tak bisa dipungkiri amat mengejutkan mereka. Athifah baru pernah merasakan mendapatkan apresiasi ini selama hampir enam tahun ia menimba ilmu di Daarul Qur’an. Ia merasa sangat bersyukur. Pencapaian tahfizh reward baginya semakin memotivasi untuk me-mutqin-kan hafalan yang telah ia miliki. Apalagi di tengah segala aktivitas menjadi santri dan bergabungnya ia dalam bagian OSDAQU.

Serupa dengan Audy, ini juga kabar yang mengejutkan baginya. Apalagi untuknya yang notabene merupakan santri baru kelas tujuh. Yang belum genap satu semester intensif menghafalkan Alquran. Baru pula dua juz Alquran ia hendak sempurnakan. Seolah mendapat kado menjelang hitung hari genap tiga belas usianya.

Proses menghafal pun tak selalu mulus untuk Audy. Ada kalanya ia mengalami kesukaran. Pun di hari-hari awal ia resmi menjadi santri rantau dari Lampung. Butuh adaptasi dan pembiasaan dengan jadwal pesantren. Terutama ritme dan jam biologis tubuh. Jauh dari keluarga tak pelak terkadang membuat ia sedih dan rindu dengan ibu ayah di rumah. Menurut cerita teman satu hujrohnya, ia menangis karena bulan lalu kedua orangtuanya tidak bisa datang berkunjung.

“Ana berharap ke depannya ana bisa menjadi pribadi yang lebih mandiri. Khususnya lebih disiplin dan pandai mengatur waktu untuk muroja’ah. Apalagi ana udah dua tahun lalu alhamdulillah ikut WTN. Pengin banget hafalannya bisa mutqin.”, tutur Athifa, remaja belia yang akan mendaftar pendidikan dokter di tahun depan.

“Ana juga. Ana mau jadi hafidzah yang hafalannya mutqin. Makanya ana suka pelajaran bahasa arab. Walau kadang sulit tapi ana tetep suka.”, timpal Audy lucu.

“Hidup kan engga cuma mengejar duniawi aja. Akhirat juga perlu dikejar. Makanya Alquran lah bekal kita nanti sampai ke akhirat. Dengan Alquran ana harap engga hanya nyenengin ana tapi juga bikin bangga orang tua ana.”, tambah Athifa. Kedua anak bungsu dari dua bersaudara itu sepakat mengangguk setuju.

Pengumuman tahfizh reward ini mungkin belum sampai terdengar di telinga orangtua keduanya. Tapi keyakinan bahwa mendengar berita yang membanggakan ini pasti benar adanya. Apatah nanti ketika mahkota kemuliaan benar-benar dipersembahkan oleh seorang anak kepada orang tuanya.

Minimal lihatlah nanti di hari jadwal mudhifah selanjutnya. Hari di mana para orangtua dan sanak saudara datang meramaikan pondok. Melihat dalam baliho besar-besar, foto dan nama anaknya terpampang dengan jelas. Lalu mereka refleks mengambil telepon genggam dan mengabadikannya dalam kamera. Seolah berkata “Masya Allah. Tabarokallah. Itu anakku.”