Bukan Sekedar Pelajaran Laiknya Buku Pelajaran

0
17
“We are unitera mania is the best in Daarul Qur’an,” serentak 53 santri putri sebelum memulai kehidupan baru mereka.
Meskipun saat itu terik matahari sangat menyengat, tetapi panasnya semangat juang para santri itu tidak kalah. Ditengah desa yang jauh dari ramainya perkotaan mereka belajar, memahami dan membangun visi kehidupan.
Bukan sekedar pelajaran biasa laiknya buku mata pelajaran yang selama ini mereka pelajari. Tapi, menelan dan mencerna pelajaran itu laiknya air yang menjadi bagian penting dalam sistem di tubuh manusia. Ia hidup dan berarti untuk sistem tubuh manusia, seperti itulah pelajaran yang mereka dapat dari Pendadaran Calon Pemimpin Muda Daarul Qur’an di Desa Ciseureuheun, Pandeglang Banten, sejak 5-7 Juni.
Sebuah desa yang berlokasi di pedalaman Banten dan jauh dari keramaian kota, bahkan teknologi canggih. Melihat, masih banyak rumah yang jarang listrik, bahkan untuk mendapatkan air saja harus turun ke sungai. Dan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari hanya mengandalkan alam di sekitarnya. Hebatnya, tidak dari satu pun warga di sana yang mengeluhkan keadaan itu.
Di tempat itulah para santri Daarul Qur’an ditempa untuk menjadi sosok calon pemimpin muda yang dibutuhkan negara dan umat ini. Meskipun tidak memakan waktu yang lama, tetapi pelajaran hidup yang di peroleh telah melekat pada diri mereka.
Hal itu nampak jelas pada pribadi yang mereka bawa saat tiba dan kembali pulang. Pribadi yang seringkali mengeluhkan apa saja yang tidak sesuai keinginannya, telah berubah menjadi sosok yang selalu bersyukur dengan yang diterimanya. Sosok pemuda yang memahami kehidupan bukan sekedar memenuhi keinginannya saja.
“Ternyata sering kali kami lupa akan rasa syukur yang selama ini kami dapat di rumah maupun di pondok pesantren. Bahkan, tak jarang kami hannya mengeluhkan dan menyela makanan yang tidak sesuai dengan lidah kami. Alhamdulillah, saya dan teman-teman diingatkan kembali melalui pendadaran ini sehingga, tidak terlalu jauh kami melupakan rasa bersyukur,” ujar Suci Oktavia, sambil mengusap air matanya yang menalir di pipinya.
Ia mengungkapkan penyesalan karena selama ini telah banyak lupa bersyukur. Keyataan yang mengharuskan ia memakan ala kadarnya dan tinggal di rumah  berdinding bilik yang hanya diterangi oleh sebuah lampu, membuat dirinya sadar telah mengabaikan hal kecil. Padahal, sepatutnya hal besar. itu harus di syukuri kapan dan di mana pun.
Reza Rahmadani, dalam sebuah karya yang ditulisnya berkata, “tak percaya bahwa masih ada wilayah Indonesia yang berada di pedalaman hidup seperti ini. Dengan mayoritas masyarakat sebagai petani garapan.”
Dalam tulisannya ia melanjutkan, Ya Allah hanya ada satu kamar, itu pun hanya di isi dengan lemari kecil dan sebuah kasur usang nan tipis yang tertutup dengan kelambu yang sudah buram warnanya.
Miris dan tidak bisa berkata-kata, ia menambahkan, melihat masyarakat di sini setiap harinya dari pagi hingga sore mengurusi sawah. Namun, saat panen berasnya selalu habis sebelum dinikmati sendiri, dikarenakan harus membayar hutang kepada pemilik sawah dengan memberikan sebagian besar hasil panen.
Menurutnya, ini adalah pelajaran beharga yang sangat besar, berlajar untuk selalu berupaya lebih keras dan usia tidak membatasinya. Bersyukur apa pun yang didapatkan meski hanya nasi sepiring nasi bertabur garam yang tersedia di depan mata kala lapar.
Ia berdiam di sebuah rumah bilik dan hanya ditinggali oleh seorang nenek berusia 120 tahun. Keriput telah menyelimuti tubuhnya, tulang punggungnya sudah tak mampu lagi menahan beban tubuh, sehingga mengharus ia berjalan dengan berbungkuk. Namun, Reza menyebutkan, satu hal yang membuat dirinya terkagum-kagum, sang nenek selalu sholat tepat waktu setelah adzan berkumandang. Ia pun rutin membaca surat yasin setiap usai shalat dan fasih membacanya meski tanpa bantuan kacamata.
“Pelajaran yang sangat besar dan tidak akan didapatkan meski kami belajar tiga tahun lamanya, ” ujarnya. Ini adalah bekal kehidupan yang memacu dirinya untuk menjadi seorang pemimpin yang mengerti bagaimana kehidupan ini berjalan.
Dalam akhir tulisanya ia mengatakan, jika menjadi presiden ia akan mendata desa-desa yang perlu dibangun dan dikembangkan. Kemudian, membuka peluang beasiswa untuk anak-anak yang kurang mampu untuk meningkatkan SDM Indonesia.